Malam itu, aku menatap foto yang tersimpan di handphoon nokia-ku. Mengingatkan aku pada kenangan indah dari seseorang yang pernah menembus rasa hati. Senyumku mengembang, hingga air mataku mulai membasahi pipi, anganku kembali menyambut masa itu. Matanya yang sendu dan berkaca, dahulu mata itu selalu menatapku sembari mencuri –curi pandang hanya kepadaku seorang. Senyumnya menggoda, bibirnya yang pandai bicara, tingkah-lakunya nakal namun nasihatnya masuk akal. Tawanya yang renyah selalu terngiang-ngiang di telingaku. Pesan-pesan dengan ragkaian kata indah selalu mengalir dan terkirimkan di hp- ku setiap hari tiada henti. Semua itu, mengingatkan aku pada seseorang yang pernah kusinggahi sudut hatinya. Kisah cintaku itu berlangsung ketika berada di almamater tempatku mendulang ilmu.
Pagi itu, sesungguhnya angin berhembus sumilir bersih, sepantasnya jika membawa hati menjadi damai dan cerah. Namun suasana sejuk itu justru menjemput hidupku terasa gelisah, wajahku jadi merah padam, kemarahanku muncul menyembul. Mengapa ini bisa terjadi? Semenjak aku menerima berita hangat menyengat. Suara serak-serak basah itu muncul dari telepon Yulia. Suara seorang wanita Yulia yang masih terngiang di telingaku meminta agar aku memutuskan rasa cinta pada seorang pria pujaan hati.
”Ya, aku menyimpan cinta untuk orang yang sama, Mas Tono”. Suara hati nurani yang jujur itu seolah tak pernah bisa saya lupakan. Suara itu yang selalu terasa mengancam. Suara itu yang sering menjadikan jiwa ini tercekam.
”Nit... Nit...”. Suara Dini membuntutiku saat menuju koridor kafetaria kampusku.
”Kok murung lagi, ada kabar terbaru? Dia masih telepon kamu terus ?” Pertanyaan Dini memberondongku.
”Ya.. gitulah...” Jawabku singkat.
”Gitu gimana? Ayo... cerita dong...!” Rengek Dini menggodaku. Aku pun dengan langkah pasti memasuki ruang berukuran 4x4 meter persegi.
“Iya....tapi aku pesan minuman dulu, ya.. haus banget, nich...”
“Oke dech... Kita duduk di pojok, yuk, biar lebih santai...!! Kemarin aku tak jadi ketemu dengan Yulia, tapi sebagai gantinya dia udah ngomong banyak melalui telepon hingga sampai berjam-jam, ngga percuma ngabisin pulsa”.
“Dia cerita apa-an sich.. ?” tanya Dini kepadaku.
“Banyak banget Din, antara Mas Tomo dan Yulia, mereka sesungguhnya pacaran udah lama . Semenjak mereka duduk di bangku kelas dua SMA sampai sekarang hingga mereka kuliah. Bahkan kini mereka sudah punya rencana untuk tunangan. Namun, rencana itu gagal karena Mas Tono bukan dari keluarga baik-baik. Ya... karena Mas Tono dari keluarga single parents”.
Sembari aku membetulkan kursi rotan tempat dudukku, Dini pun sudah tidak sabar lagi mendengarkan kelanjutan ceritaku. Aku mulai menerocos cerita,
“Orang tua Mas Tono bercerai semenjak Mas Tono di kelas 3 SMP. Semenjak peristiwa itu Mas Tono tinggal bersama ibunya. Dia termasuk anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Sedangkan ibunya sendiri bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Ibunya hampir setiap hari meninggalkan rumah sejak matahari terbit, hingga matahari terbenam, bekerja mulai dari pagi sampai malam hari”.
Dini mendengarkan ceritaku seolah kedua matanya tidak berkedip.
”Mas Tono tumbuh dewasa tanpa perhatian orang tua. Memang dalam hal materi apa pun yang ia inginkan dapat terpenuhi. Tetapi dalam hal kasih sayang tidak pernah ia dapatkan”.
”Terus kamu tidak komentar apa-apa?”, sahut Dini memotong.
”Din, rasa-rasanya mulutku terbungkam, dia gomong terus seolah tak pernah merasa capek-capek, bahkan Yulia minta aku menjauhi Mas Tono. Yulia menuduhku telah merebut Mas Tono , Yaa... Yulia menuduhku telah merebut hati Mas Tono ”.
Dini seketika beranjak dari tempat duduknya karena mendengarkan bahwa aku yang seolah-olah dijadikan kambing hitam Yulia.
”Nita..., seharusnya kamu membela diri dong...!”
Dini menghela napas beberapa saat,
”Tetapi... kalau kamu meninggalkan Mas Tono apakah kamu bisa? Bukankah kamu sangat menyintainya?”
Begitulah pertanyaan retotik yang selalu keluar dari bibir mungil Dini. Aku merasakan tidak merebut Mas Tono dari Yulia. Aku merasakan tidak pernah menyakitkan Yulia. Sungguh sumpah, bahwa cara-cara percintaan yang konyol itu aku tidak akan melakukan. Lagi pula aku punya pendirian bahwa rasa cinta itu tidak dapat dipaksakan, rasa cinta itu datangnya dari Tuhan. Ya..., kalimat-kalimat itu memang aku kutip dari pesan SMS Mas Tono yang sering masuk ke ponselku. Lagi pula Yulia sendiri yang meninggalkan Mas Tono pada saat ia kesusahan. Waktu Mas Tono masih pecandu narkoba, seharusnya Vika bisa menerima dan mampu memberi terapi, atau sebagai penasehat pribadi.
Namun nyatanya Mas Tono malah dicampakkan! Itulah ang menjadikan permasalahan ini semakin rumit. Kalau memang benar-benar cinta, Yulia sebaiknya menerima Mas Tono apa adanya baik dalam keadaan duka maupun suka. Itu baru yang namanya cinta. Meskipun keluarga tidak merestui hubungan mereka, selayaknyalah mereka mempunyai cara. Bagiku untuk bermain cinta ada seribu cara! Tentunya, jangan sampai hilang akal, norma, tata susila. Dalam bermain cinta, aku punya prinsip selagi aku punya niat murni, berani, dilandasi cinta suci, maka Tuhan pasti memberkati.
Dini seolah tidak mau menerima kelakuan Yulia terhadap aku.
”Iya...sich...?! Apa yang kamu omongkan sesungguhnya masuk akal Din...”.
”Nit... seharusnya kamu tidak usah memikirkan Yulia, dia sudah menyakitkan hatimu dan hati Mas Tono. Yulia telah membuat Mas Tono nge-drug. Seharusnya Yulia itu berterima kasih kepadamu, Nit...”
”Terima kasih apaan, sich? Din..., aku kan tak pernah menolong Yulia aku tak pernah membuat Yulia bahagia. Justru aku sudah membuat Yulia sedih karena sekarang aku bersama Mas Tono”.
’Tapi kan, Nit... kamu itu udah membuat Mas Tono bisa keluar dari ketergantungan obat-obatan maksiat itu!” Tegas Dini memantapkan mat hatiku. ”Bahkan kamu sudah membuat Mas Tono kembali menjadi orang yang baik sehingga dia sekarang mau melanjutkan kuliahnya”.
Sambil sekali-sekali membenahi kaca minusnya Dini melanjutkan pembelaan. ”Sekarang Mas Tono sudah sembuh total dari drug yang hampir merenggut nyawanya. Semua itu karena kamu Nit.... Ya..karena kamu!” Dini mulai melanjutkanpembelaannya seolah seperti ahli hukum yang sedang beradu argumen di depan pengadilan. ” Nit..., bisa jadi karena kekuatan cinta yang kau tembuskan kepada Mas Tono seakan-akan bisa membuat segala sesuatu bisa terjadi. Ya... yang sesungguhnya tak mungkin terjadi bisa terjadi Nit..”, kata Dini terus memberi nasehat kepadaku. Bisa jadi untuk mengembalikan kepercayaan diriku yang beberapa hari ini aku merasakan frustasi. Sesaat kemudian Dini mencoba memunculkan jurus-jurus keselamatan bagiku.
”Begini ini saja. Nit... Bagaimana seandainya kalian nanti bertemu bertiga?, dengan cara ini saya pikir masalahnya bisa lebih jelas. Nanti kamu akan tahu Mas Tono itu sesungguhnya memilih kamu apa Yulia. Oke?!”, lanjut Dini,
”Iya... sich... mungkin hal itu bisa terjadi”. Aku sendiri heran juga, apalagi dari kaca mata umum, rasanya sulit dipercaya bahwa hanya berawal dari tatapan mata yang tidak sengaja aku bisa sampai jatuh cinta pada Mas Tono. Aku mengakui memang diriku masih muda-belia. Namun, entah mengapa aku sangat mencintainya. Jika ditanya mengapa aku jatuh cinta? Rasanya sangat susah jika harus kusampaikan dengan kata-kata.
Aku mengakui, Dini memahami isi hatiku. Aku memang terlalu jujur, semua masalah pribadi hapir aku ceritakan kepada Dini. Dini pun seolah merasa enjoi setiap mendengarkan cerita cintaku,
” Din... berkali-kali aku jauh cinta, rasanya belum pernah aku cocok banget seperti ini. Dari obsesinya, dari penampilannya, dari pembicaraannya, sifat-sifatnya, tingkah lakunya, kebiasaannya, keinginan ke depan. . . ah... bahkan aku menerima dia apa adanya walaupun dia seorang mantan pecandu narkoba”.
Dini hanya memberikan anggukan kepala menandakan bahwa Dini dapat membaca dan setuju maksudku.
Tidak terasa, ternyata sudah setegah jam aku dan Dini di kafetaria kampusku. Nampak Dosen pengampuku telah memasuki ruang kuliah. Dina menarik tanganku untuk segera meninggalkan tempat duduk di ujug kafetaria yang bercat biru . Cat tembok berwarna biru di kafetaria itu memberi obsesi kepada keteguhan dankemantapan jiwaku, bahwa cinta itu perlu dipelihara. Cinta itu tidak boleh untuk main-main belaka. Aku semangat, segera bangkit dari tempat dudukku.
”Iya, Din. Tapi aku bayar minum dulu... ya...??!
Sambil berjalan menuju ruang kuliah, aku dan Dini terus membicarakan Mas Tono dan dia minta aku berjanji menceritakan pembicaraanku dengan Yulia sampai selesai, setelah pulang nanti.
Dalam ruang kuliah aku tidak dapat konsentrasi sepenuh hati, aku masih terbayang jelas kata-kata Yulia lewat hp-ku kemarin. Tiba-tiba ’Tok...tok...tok...’ suara pintu diketuk seseorang , ternyata salah satu satpam di kampuskuku.
”Maaf mengganggu, apa ada Mbak Nita ?”, tanya satpam itu, sambil menatap seluruh isi ruang kuliah itu.
”Iya... Saya .... Ada apa, Pak ?’
”Dicari Bapaknya di ruang tamu”.
“ O...ya... makasih Pak...”
“Aduh, ada apa ya, Din ? Sepertinya tidak biasanya, ya ?”
”Udah. . . kamu ke sana dulu, ya ?!”, bisik Dini mempersilakan aku ke luar dari ruangan kuliahku”.
Dengan terburu-buru aku memasuki keheningan ruang tamu di Fakultasku. Di sana Papa telah menunggu.
”Oh... Papa, ada apa, Pa ? Kok tumben...?”
”Gini, Nit... papa tadi menerima khabar bahwa Mas Tono kecelakaan. Sekarang dia di rawat di rumah sakit”.
”Apa..??!” Aku shock banget, seluruh tubuhku gemetar, pikiranku ngga karuan.
”Kalau gitu. sekarang aku akan minta ijin dulu sama Dosenku Pa..!”, ucapku tergesa-gesa. Dini setia mengorbankan waktu ikut juga membolos kuliah keluar dari ruang kuliah untuk mengikuti aku. Tidak ada sepatah kata pun yang muncul dari mulut Dini. Yang biasa selalu bicara, kini tiba-tiba diam seribu bahasa.
Aku, Dini dan Papaku pergi ke rumah sakit dengan mobil Papa. Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku terus melamun dan memikirkan keadaan Mas Tono. Sementara itu, Dini terus saja menghiburku dan menyuruhku untuk tetap berdoa.
Sesampai di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Mas Tono, Ku coba tuk menenangkan diri melihat kenyataan yang ada. Aku hanya bisa diam. Wajah Mas Tono pucat, bisa jadi karena banyak keluar darah. Aku tatap wajah Mas Tono dalam-dalam, matanya terpejam, bibirnya bergerak, mengaduh pelan,
”Aduh... aduh... aduh... sakit...”, suara Mas Tono lirih.
Aku mulai mendekati, tangannya yang terkulai lemas kucoba kuraba. Tak mampu rasanya aku membuka kata untuk menyapa. Aku mulai meneteskan air mata. Kucoba menyapa, ”Mas..., Mas... Tono...!” sapaku lirih.
Perlahan-lahan mata Mas Tono terbuka. Mas Tono kaget melihat aku ada di depannya. Air mata Mas Tono mulai bercucuran, menangis,. Kuusap dengan sapu tanganku yang berwarna biru berulang-ulang. Aku dan Mas Tono saling memandang. Dengan replek tanganku setiap aku melihat tetes air mata yangkeuar dari ujung mata Mas Tono, sapu angan biruku mengusap berkali-kali tanpa kusadari
”Yang ... kamu mencintai Saya ?’, ucap Mas Tono lirih.
”Iya, Mas. Aku sangat mencintai Mas...”
”Benar...?? Aku sangat mencintai kamu. Kata Dini kemarin Yulia telepon kamu?”
Udahlah, Mas... jangan dipikirin, yang penting sekarang Mas Tono harus cepat sembuh...”
”Yang... kamu tidak akan meninggalkan aku, kan. Kamu akan tetap menerima keadaanku walaupun aku mantan pecandu ?’, kata Mas Tono.
”Iya...Mas. Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Aku sayang banget sama kamu”, ucapku tulus.
”Yang... tolong kamu suruh Yulia ke sini, Ya..?! Aku mau ngomong sama dia”, pinta Mas Tono.
Aku ambil ponsel yang ada di dalam tas mini yang menggantung di bahuku,
”Hallo... Yulia, ini Nita, aku minta kamu datang ke Rumah Sakit Umum DR. Mawardi! Di ruang Dahlia nomor 5, sekarang juga karena Mas Tono kecelakaan dan dia mau ngomong sama kamu”.
Di ruang tunggu semua teman Mas Tono sudah panik menyaksikan pertemuan antara aku dan Yulia. Suasananya menjadi tegang dan kaku. Tiba-tiba tampak seorang gadis berambut pendek menghampiriku. Sejenak kutatap dia dan kuulurkan tanganku.
”Yuk... Yul.., aku antar kamu ke Mas Tono”.
Dengan suara terbata-bata dan tanpa bosa-basi Mas Tono memberanikan diri untuk berterus terang,
” Yulia..., aku harap kamu merelakan saya bersama Nita. Maaf Yul... bukan maksudku untuk menyakitimu tapi aku sadar kalau Nita adalah orang yang benar-benar aku cintai dan aku sayangi. Dialah orang yang telah membuka hati Saya dan mengeluarkan aku dari ketergantungan narkoba”, ucap Mas Tono sambil membetulkan posisi tidurnya.
”Nita juga sudah membuat saya kembali kuliah dan bisa lebih menghargai dan menyayangi Ibuku. Aku tidak bisa berpikir, mengapa kamu mempermasalahkan hubungan kita setelah kamu meninggalkan Saya? Pada saat aku dahulu benar-benar membutuhkan kamu, ternyata kamu pergi dengan laki-laki lain”, lanjut Mas Tono sambil menatap Yulia.
”Aku mohon Yul..., jangan ganggu kebahagianku dan Nita”, kata Mas Tono kembali. ”Bahkan aku berencana setelah lulus kuliah dan aku sudah bekerja, aku akan melamar Nita sebagai istriku”.
Aku kaget akan kata-kata Mas Tono dan sekaligus bahagia mendengarnya. Aku hanya diam mendengar kata-kata Mas Tono.
Yulia menyadari dan menyesali apa yang pernah terjadi.
”Maafkan aku, Mas. Aku sadar kalau aku bukan wanita yang pantas untukmu”, ujar Yulia kepada Mas Tono. Sementara itu, Yulia pun memuji aku, meski secara jujur isi hatinya aku tak tahu. Air mata di pipi Yulia tampak mulai membasahi wajahnya sendiri. Dengan terbata-bata Yulia berkata,
”Nit... aku sangat berterima kasih ternyata kamu selama ini udah membuat Mas Tono bahagia dan kembali ke jalan yang benar. Aku percaya akan kekuatan cinta kalian. Meski berat, aku doakan semoga kalian benar-benar menikah. Kalau kalian menikah, jangan kau lupakan saya, ya...?!”, kata Yulia sambil kepadaku.
”Iya, Yulia. Aku juga berterima kasih atas pengertianmu. Jadi, sekarang kita bersahabat, kan..?”.
”Iya... sekarang kita bersahabat”, ujar Yulia.
Aku dan Yulia saling memandang, Mas Tono memandang kami berdua. Tida pasang mata berbaur menjadi satu dalam nuansa perjangan cinta.
Tiba-tiba saja Dini masuk ruangan dengan membentangkan kedua tangan seraya mengatakan,
”Kekuatan cinta ternyata bisa membuat kita keluar dari hal-hal yang tidak mungkin menjadi menjadi terjadi. Kekuatan cinta bisa membuat orang menyadari semua kekeliruannya. Bahkan dengan kekuatan cinta ternyata bisa membuat seseorang menjadi semangat bekerja dan awet muda.
Klaten, 9 Juli 2008
Kepencut Bondho
[Carita babagan “Budi pekerti” iki mung rekan, jeneng, papan kedadeyan lan lakune crita ora ono gandheng cenenge karo lelakone sapa bae. Muga ndadekna pamriksa]
Para Paraga : 1. Pak Dirno
2. Bu Dirno
3. Pak Rasa (Blantik sapi)
4. Sabar (Bocah nom-noman ing Desa)
5. Denok ( Prawan masiswa anake Bu Dirno)
ADEGAN I
PANGGUNG KAYO KAHANANE KAMAR KELUWARGA KANG PRASAJA, ANA MEJA, KURSI, LINCAK DOWO; MENEHI KESAN MARANG PAMIRSA YEN PAPAN KUWI OMAHE PEGAWAI SING ORA DUWE PANGKAT DHUWUR. KATON SWASANANE WEKTU SORE NDUNGKAP WENGI WIS PODHO RAMPUNG ANGGONE MAKARYO. PAK DIRNO MENGANGGO SARWA SAKMADYA. MUNG YEN BU DIRNO KATON LUWIH TUMATA ANGGONE NYENYANDHANG. KATON YEN SENENG NGUDI SALIRA
IRINGAN MUSIK LEMBUT KATON SEGER YEN DIRASA. SAYA SUWE SAYA ALON. LAMPU DIGAWE DIMEN JUMBUH KARO SWASANA BENGI.
1. PAK DIRNO: [LINGGUH LINCAK KALUNG SARUNG, SINAMBI NGOMBE WEDANG, KALA-KALA NYEDHOT WUDUT LAN SINAMBI NGISIK-ISIK PIPANE, OMONG DHEWE GRENEGAN BABAGAN KAHANAN SING DIRASAKAKE ING ATINE]
Omonge arep ono operasi pasar? Mendah bungahe yen pancen bisa kaleksanan ana operasi pasar.
2. BU DIRNO : Mbok kersane to Pak. Awake dhewe mengku karep nopo?
4. PAK DIRNO :Karoben rakyat rada penak uripe.
5. BU DIRNO :Ning kapan operasi pasar wonten kasunyatane? Lha reregan barang-barang wis padha mundhak kathik Pamarintah iki kok mung meneng bae. Karepe ki kepriye Pamarintah ki?
Apa lali gek jaman arep PEMILU kae? Kandhane arep ngangkat martabate para kawula cilik? Lha kok, ya ora ana kasunyatane. Apa maneh awakku iki, jan.. ora nate bisa kelakon ngowahi nasib.
Eh.. lha iya kaya aku iki pegawe cilik, gajine mung mung sithik kok ngrembug babagan operasi pasar barang.
Aku iki dudu ekomom, aku dudu politikus, mung aku peduli marang wong cilik. Jalaran aku ya klebu wong cilik. Nadyan mangkono aku bombong karo atiku dhewe, wong-wong kiwa tengenku padha weweh predikat nyang aku “seniman”, malah ana sing ngarani mubalig. Heh.. aku kok ngguyu dhewe yen kelingan, kok bisa-bisane aku duwe kasenengan ana ing jagating seni. Karoben ana keseimbangan, kawruh agama ya tak udi sak bisa-bisane.
Lelakonku ngeni iki isih tak anggep kanugrahan! Tinimbang Kang Dipo sing mapan ana mburi omah kuwi. Sing penting padha sehat anak bojoku, bisa nyandhang lan mangan, nadyan pas-pasan. [NYRUPUT WEDANG]
Reregan beras, gula, minyak wis kabeh padha mundhak. Malah kepara wis ganti rega! Sakeh barang kebutuhan pokok padha mundak regane. Wragad sekolah ya ora ana sing murah. Sekolah-sekolah favorit ragate saya melangit, meh saben wong padha njerit. Njerit yen ngelingi lelakon urip. Saweneh barang ora ana sing murah, kabeh larang regane. Sing murah mung janji-jani manis, goroh, apus-apus ngganggo tembung lamis.
Sakeh barang ing warung lan toko padha mundhak. Sing ora mundhak mung…
2. BU DIRNO : [NYELO-NYELO PINGIN MELU URUN REMBUG NING ATINE MANGKEL]
Gaji Sampeyan Pak…! Seprana-seprene… nggih mung kaya ngene Pak! Gek kapan saget mindhak pangkat kados Sukir nika! Yen pangkat mawon mboten mundhak, Napa esoh mundhak dhuwite. [OMONGAN DHEWE SEMU RADA NYINDHIR NYANG BOJONE] Gek pripun, lha wong pangkat drajat kuwi di udi kok. Ya ora ana pangkat drajat bisa teka dhewe. Wong Bapak ora ana usaha. Kapan bisa mulya. Pak, sampeyan mikir, pripun nasipe dhewe niki seprana-seprene mung ngeten mawon Pak!
3. PAK DIRNO: {KATON TENANG, KAYA-KAYA TANPA BEBAN] Pangkat drajat, rejeki, lahir lan pati iku kagungane Gusti! Kowe kudu ngerti, wong omong ki rak ya etung-etung. Mbok sing ayem pikirmu ta Bu. Mbok kaya Yu Ginah kidul omah kuwi lho. Yu Ginah kuwi kena tok nggo tuladha. Nrima, gelem ngrekasa, ora nate nggayuh samubarang kang pancen dudu ukurane lan dudu darbeke. Kowe aja malah nglarakake atimu dhewe. Nadyan mangkono, awake dhewe ki rak isih duwe pangarep-arep ta? Percaya wae marang Gusti! Percaya marang adhiling kang Kuwasa. Rekasamu lan rekasaku iki wis padha dikarepake.
4. BU DIRNO: Bapak bola-bali mung ngendika kaya ngono. Kula pun ngreti karep sampeyan Pak. Ning napa wong urip niku mung kedah percaya kalih pepesthen? Pancet ngeten terus?
Kula niki wong wadhon Pak, kula duwe rasa. Pancen…, drajat, pangkat, pati lan rejeki niku kagungane Gusti. Nggih pancen niku pun kula ngretosi, ning napa awake dhewe niki mboten ngulir budi? Mboten Pak, Mboten…..! Awake dhewe kudu saget mbudidaya pripun keluarga niki saget jejeg, kecukupan lahir lan batin. Naah.. seneng!
5. PAK DIRNO: Ya pancene kudu ngono, nanging awake dhewe iki mung sakdrema nglakoni Bu. Iki kang aran takdir. Ayo yen bisa awake dhewe bisa urip sing sabar, narima ing pandum, tansah eling lan sumarah mring Gusti kanthi ngibadah lan nyuwun karidhaning Pangeran kang Mahasuci. Sabar,… sabar…aja kemrungsung kaya wong arep nguyak maling….
6. BU DIRNO: [KATON WIWIT ORA SABARE] Tanpa tumindak nggih mboten bakal kecandhak Pak. Tiyang gesang niku wajib ngupaya amrih kecekap betahipun. Tanpa usaha mboten bakal tekan gegayuhane awake dhewe niki Pak! Sing penting wong urip niku kudu duwe dhuwit. Yen pun duwe dhuwit, atine seneng, pingin bondha donya napa mawon kelakon, seneng! Seneng Pak! [SAJAK NGECE] Ning yen awake dhewe niki cumleng….. cumleng Pak!
7. PAK DIRNO: [KAGET ATINE, MELAS RASANE KRUNGU OMONGE BOJO] Owahen laku-jantrane pikirmu! Elingana marang wewatoning urip. Jumbuhna antarane rasa sing kudu mbok imbangi karo kasunyatan kang wis kapacak ana ing lembaring garising pepesthi.
Coba rasakna, kepriye saeba ngrekasane atimu yen tak peksa nglayani ubenging jantraning atiku sing tanpa wates? Aku percaya yen kowe ora bakal bisa sembada. Ora bakal bisa tumindak sing sak njabaning keprigelanmu dhewe. Aja seneng meksa-meksa kahanan. Aku iki isih manungsa lumrah, aku ini dudu malaikat, aku duwe wates lan wewaton kang uwis dirakit ing kodrat uripku.
8. BU DIRNO: Yen mung ngoten niku tegese Penjenengan mboten purun ngudi mrih mulyaning urip? Wong urip niku…
9. PAK DIRNO: Ya.., aku wis ngerti yen urip mengkono, mungguhmu mung bandha lan donya. Urip mung mbok nggo mburu kadonyan sing saknyatane mung fatamurgana, kepalsuan Bu, ora ana kasunyatan sejati. Uripmu ora mbok gunakke kanggo ngolah rasa, ora mbok gunakae kanggo ngudi mungguh piye mangerteni sejatine urip kang sejati. Omongamu wis adoh saka martabating wanita sejati, sing kudune tansah ngluhurke lan bekti mring Gusti, nyang wong tuwane, bojone lan seneng narima ing pepesti. Tandang grayangmu wis owah mung merga mburu bondha lan donya. Saben-saben omong lerege mung tekan dhuwit, bondha lan donya. Eling ya.. Bu !
10. BU DIRNO: Ngih… Penjenengan badhe ngendika napa mangga! Nanging kula yakin lan pitados, bilih sedaya tiyang wonten ndonyo niki , mesthi butuhke bandha lan donya. Tiyang ingkang waras, mesthi remen dhuwit Pak, remen bandha lan donya!
11. PAK DIRNO: Mburua bandha donya kanthi alus, tulus, lan lurus tanpa ngurbanake kapribadhen Bu. Senenga ngulir nalar linambaran budi kang luhur. Unggah-ungguh, muna-muni, seneng lan gelem ngrasakake rasaning liyan. Gelem nrima ing pandum kang didasari rasa-pangrasa kang jembar tanpa winates.
12 BU DIRNO: Penjenegan badhe ngendika napa mangga! Penting kula niki esoh urip kang mulya. Urip mulya niku nganggo sarono. Saranane pun cetho. Napa ? Nggih mesthi mung arta. Arta Pak? ….Dhuwit Pak!
13PAK DIRNO: [KATON MBEDHOKOL NENG ATI, MUNG DIGAWE RASA SABAR, NGGUYU CEKAKAKAN] Lha.. rak tenan to? Dhuwit…. Dhuwit… mesti dhuwit! (Ha..ha…ha…}
14BU DIRNO: Lha pripun Pak? Kula mboten munafik Pak! Kasunyatan urip sing pun kula lampahi gesang bebrayan kaliyan Penjenengan niku, mbutuhke dhuwit. Kula pingin mulyakke sedaya keluarga. Nggih anak-anake dhewe, klebet penjenengan pribadi. Niki isine raos-pangraos kula Pak. Namung sedaya atur kula punika mesti mboten ndamel manah Bapak sekeco. Kula pidados! Nggih punika ingkang pun wastani perjuangan hidup Pak! Gesang kedah mawi perjuangan, pangurbanan. Kula pun wantun berjuang, tegese kula sampun ngurbanaken tenaga, muter akal lan mbudidaya kangge njejegake keluarga. Saben ndinten kula ngudi amrih mulyaning keluarga.
[NANGIS RUMONGSA SEMEDHOT ATINE, AWIT NGREKASA ATINE, KAYA-KAYA DISEPELEKAKE BOJONE] Niki pun dadi sifat-sifate wanita. Mboten namung kula, saben wanita mesthi remen bondha lan donya. Klebet kula Pak. [NANGIS MINGSEG-MINGSEG]. Niki tekat kula Pak! Tekat kula sing mboten badhe mundur sak pecak kemawon, kula pingin njejegaken ekonomi kuluarga kanthi cara kula. Yen perlu, kula rila kurban jiwa raga.
15. PAK DIRNO: Apa kang aran perjuangan hidup kuwi kudi ngorbanake luhur-budining wanita? Apa kang diarani perjuangan urip kuwi kudu ngilangake suba-sita? Apa kang diarani perjuangan kuwi kudu mlumpat saka pagering tata krama? Aja Bu…! Aja…!
16. BU DIRNO: Nggih kula manut Bapak, mung punapa Penjenengan saget nyembadani kebutuhan kula, kebutuhan sedaya keluarga? Kebetahan tiyang gesang niku kathah lho Pak. Betah niki, betah niku, jan… ora ana entek-enteke. Gesang ing bebrayan mbutuhaken wragad sing mboten sithik. Lha napa sampeyan saget? Pokoke, kados pundi carane, niki pun dadi tekat kula, kula pingin urip sing mulya. Pun …. Titik! [NINGGALAKE PAK DIRNO NYANG PEPUNGKURAN]
ADEGAN II
[MUSIK DIJUMBUHAKE KARO KAHANAN KANG SEDIH, SWASANA KLUARAGA KANG ISIH KATON UDUR NGREMBUG PRINSIP URIP, SAYA SUWE SAYA ILANG. GANTI SWASANA MUSIK SING SIGRAK NGLANTARAKE PASATEMONE ANTARANE PAK RASA LAN SABAR. DHEWEKE PADHA KETEMU ANO PAPAN KIOS PASAR SAPI. PAK RASA DUWE SIFAT SING RODO BLOBO, SENENG NGOMONGAKE APA WAE KLEBU RAHASIA PRIBADINE DHEWE]
17 PAK RASA: Bar…, Sabar..! Mrene.., mreneya wae...! Kowe arep golek sapi sing kaya ngapa? Rega sapi ki dha durung katon mundhak kok Bar! Bener sanadyan reregan minyak, gula, beras, lan ragad sekolah mundak, ning rega sapi durung bisa mundhak.
18. SABAR: Matur nuwun Dhe. Regi lembu sing ajeng kula potong kangge qorban tahun niki, kepara mung mirah-mirah kok Dhe! Tur nggih mboten kathah, namung sekawan lembu. Benten kaliyan tahun-tahun kepengker, menawi tahun kepengker, arisan qurban sapi ing ndusun kula rak ngantos gansal lembu. Nggih maklum Dhe, kathik golek dhuwit angele kaya ngene.
19 PAK RASA: Iya.. nanging mreneya ta! Aku dhuwe sapi sing bregas. Sawangen ta sapi iki! Pawakane entuk, sirahe bagus, wis patut yen mbok gunakake qurban dhewe. Coba piye, werna putih, bokonge cepor, tur ya uwis powel sisan. Qorban ki rak sing dipentingke mung daginge ta? Lha yen wis temu sapi kaya ngene iki, terus kurang apa? Iki lho daginge yo wis kebak.
20. SABAR : Dhe. Mboten mekaten, Qorban niku pun wonten angger-anggere. Kejawi umur, mboten cacat lan alit agengipun lembu niku ndadosaken sah hukumipun ibadah Qurban. Mboten cekap gedhe mawon. Daging kathah namung menawi dereng cekap umuripun ngih mboten sah Dhe!
Tiyang kula niki, mung pingin nonton-nonton kahanan reregen pasar kok Dhe!
21 PAK RASA: Iya, ning mreneya….delengen ta… delengen sapi iki! Sapi iki wis arep dibayar Sardi blantik wetan kono rega pitung yuta. Wis gek bathenono sithik wae. Penting aku entuk bathi sithik ora apa-apa. Entuk tambah paseduluran wae wis seneng kok. Tenan kuwi!
22. SABAR : Lah.. Dhe ..! Wong artane mboten wonten kok. Yen saget tumbas mbejang minggu ngajeng mawon.
23 PAK RASA: [PINGIN NGRAYU BEN SABAR GELEM] Kowe ki coba manuta aku! Iki mumpung ana kesempatan Sesuk durung mesthi yen ana sapi sing apike kaya ngene iki Bar! Coba delengen! Kowe ki kok ora ngerti barang apik to Bar? Wis gek pedhotono pira, sing penting tambahana rega penganyange Sardi mau.
24. SABAR : Ngih, tak pikir-pikire dhisik Dhe! Jaragan artane nggih tasik kirang.
25 PAK RASA: Whe lha… kowe ki Sabar tenan! [RODO NGECE] Cah enom kok koya ngono. Mbok dadi cah enom ki rodo agresif ngono lho Bar! Weruh sapi apike kaya ngene kok ora pengin. Lah sing arep mbok goleki sing rupa apa? Sing putih kuwi luwih larang tinimbang werna abang kae. Lha apa sing ireng kae, rada murah. Lha yen aku lho… ya sing putih kae, nglarangi sithik, ning jan maremake ati! Piye…? Apa malah sing sapi metal kae? Lha yen kae… regane rada larang, mung daginge wis jelas-jelas ora nguciwani…..!! Tenan kuwi… ayo piye?
26. SABAR: Mboten kok Dhe..Kula tak ngukur kekiyatan kula piyambak. Tiyang niku yen ndangak, mboten purun instruspeksi dhiri, akhire nggih mboten sae kedadosanipun. Kula tak trimah nonton-nonton reregen rumiyin kok Dhe. Tiyang artane nggih dereng jangkep kok.
27 PAK RASA: [ Ha..ha…ha…] Whe.. lha dalah…! Weruh pupu sapi ngene kok ya ora bergairah tho Bar?
Bar.. mreneya, nyedhaka aku kene, ayo tak kandhani…[MBISIKI KUPINGE SABAR, TERUS NGGUYU NGAKAK ] Ha…ha…ha… Menenga lho, aja kandha-kandha ...iki rahasia pribadi lho Bar!
28. SABAR: Trus sing sampeyan ngendikakke niku sinten to Dhe? Kula malah dados tansaya bingung mikir ngendika sampeyan Dhe! [SABAR OMONGAN DHEWE]. Apa iki kang diarani jaman edan kae po? Wong omonge khabar iki rahasia kok malah diomong-omongke? Subhanallah!
29 PAK RASA: Nah… yen kabar iki, kowe mesthi tak jamin satus persen seneng Bar ! Info aktual iki wis dudu ngrembug bab sapi maneh lho Bar! [LUNGGUH NYEDHAKI SABAR, SABAR DLONGAP-DLONGOP KOYO WONG BODHO]
Lho kuwi khabar temenan Bar..! Aku kuwi nganti arep piye? Yen arep tak bojo wong wis ono sing nduwe, lha yen ora tak bojo yo wis ngono kae [ Ha..ha…ha….]
Sapa uwonge ora kepencut karo Bu Dirno? Kowe rak wis ngreti to? Kok kowe malah dlongap-dlongop? Coba bayangno omongane, rupane, cara nyenyandhange….Wis ora nguciwani to? (Ha..ha…ha…)
30. SABAR: Astagfirullah Dhe! Kula mboten pitados yen Bu Dirno purun tumindak nyleweng, bradhat mbedhal saking garising wewaler luhur Dhe. Penjenengan ampun nyebar isu-isu murahan Dhe! Lha wong Pak Dirno, bojone Bu Dirno niku dados tepa tuladha tiang-tiang sak kampung kok. Malah-malah Pak Dirno niku asring ngisi pengaosan-pengaosan, sinaosa mung wedal wulan Romadhan. Masa bojone tumindak sedheng. Mboten! Mboten pitados kalih omongan sampeyan kok dhe. Mboten…! Mustahil… Dhe!
31 PAK RASA: Kowe ora percaya kena-kena wae Bar! Lha wong kowe ki bocah sing sabar, mula krungu khabar ngono ya sabar [NGECE SABAR KARO NGUYEK-UYEK RAMBUTE] Wong sing nglakoni wae aku kok mbok paido. Aku iki Pak Rasa, blantik sapi, siji-sijine wong neng desa kene. Masa aku goroh Bar? Pak Rasa lho Bar!. Lha kapan aku nate goroh?
32. SABAR: Nggih mboten ngaten Dhe.. mosok Bu Dirno wantun tumindak nista? Mboten … mboten pitados! Nyuwun sewu, Lha… sok malah saget, Pak Dirno piyambak ingkang tumindak nyleweng. Niki batin kula lhe Dhe!
Kula wantun matur karana Pak Dirna niku seniman. Kandel tipisipun antawis juru dakwah kalian kesenimananipun Pak Dirno saget mboten sami; Menawi piyambakipun langkung caket seninipun, biasanipun, ingkang sampun-sampun gampil lan celak sanget kaliyan tumindak ingkang mboten sae. Sebab wekdal, papan lan swasananipun seni punika, celak kalian pangudhaling raos. Kamongka raos meniko, saestunipun kandel tipisipun sakalangkung ngrekaos ukuranipun. Sing saget ngukur nggih mung pribadine seniman niku piyambak
33 PAK RASA: Bar… Sabar! Kowe ki omong apa? Apa kowe ki ahli filsafat pa?
34. SABAR: Mboten Dhe, kula mung pingin badhe matur bilih adat kebiasaanipun tiang seni langkung gampil ginubeting raos tresno dhaten ngasanes, langkung-langkung jaler lan wanita. Biasanipun tiyang menawi sampun nggilut salah satunggaling pakaryan seni, tiyang punika badhe migunakaken seni kangge ngalalaken pakarti jebatipun. Nggih wonten ing papan seni punika, minongka papan ingkang paling gampil manggihaken guleting raos katresnan.
35 PAK RASA: Yen kuwi aku ora ngreti Bar! Kuwi urusane para seniman. Aku iki dudu seniman. Aku iki mung blantik sapi!.
Sing esoh tak rasakake nganti wekti iki, Bu Dirno wis kumowani nuduhake sambung rapeting katrenan marang aku kang ngluwihi wates-watese antarane bojo lan wong liya. Iki sing ndadekake mumet sirahku Bar..![KATON BINGUNG NYAWANG KIWO-TENGEN KAYA NGALAMUN]
36. SABAR: Pak Dhe.. Rasa, ampun ngalamun tho Dhe!
37. PAK RASA: Lho, ngalamun piye to bocah iki?
38. SABAR: Penjenegan kok sakniki kados sastrawan ta Dhe? Yen sastrawan nika sing kula ngretosi, pinter ngathik lan ngrakit tembung-tembung, terus dados crita sing nggumunke,miriske, menopa ingkag nyedihke. Sastrawan punika mung modhal ndhagi muter lan ngubeng-ubengke tembung sing ditata kanthi dhakik-dhakik.. Ning… nyuwun sewu lho Dhe, Penjenengan ki rak mung bakul sapi kok pinter ngarang crita?
39 PAK RASA: [MISUH-MISUH NING SENENG] Hus.. kangkrengkane ki ! (Ha..ha… ha..) Kowe ngertiya, yen Bu Dirno kuwi sejatine wis ora seneng karo bojone! Lha piye ta, bojone ki rak wis ora bisa ngalor ngidul. Mudheng?... Mudheng ora…? Tenan aku melas, aku kepingin arep ngentasake problem keluargane!.
40. SABAR: Lah..Dhe, sampun! Subhanallah…!! Kula tetep mboten pitados kalih ngendika sampeyan. Ewa semanten kula nggih mboten badhe pitados dhateng panggrahita kula sing awon dhateng Pak Dirno, sebab antawis siniman, lan mubalig niku sami-sami gadhah bobot sing mentes lan jentes. Liripun sami-sami nggadhai jiwa ingkang agung.
41 PAK RASA: Aku dudu seniman lan aku dudu mubalig lho Bar..!
Lha piye, apa kowe malah tak ajak ngrasakake mungguh nikmat lan enake yen mabur neng ngawang-awang langit sappitu pa? Tak kira Bu Dirno ya gelem. Wong kowe ya bagus kaya ngono. (Ha..ha..ha..).
Sejatine aku ya rumongsa salah. Nanging iki kabeh wis tak niati kanggo nggawe temtrem atine Bu Dirno.
42. SABAR: Subhanallah …! Ngendika sampeyan niku nggih mboten sae tumraping bebrayan agung Dhe! Ngendika sampeyan mung golek benere dhewe! Yen pancen pun mekaten, tegesipun sampeyan pun ancik-ancik mlebet ing bebenduning Gusti.. Istifar Dhe…! Astagfirullah…..! Tobat ..nggih Dhe..!
43 PAK RASA: Ya…..! Rasa kaya ngono kuwi mesthine saben menungsa sing waras mesthine duwe.. [PRAUPANE KATON KHUATIR] Ning aku iki wong waras apa ora? Aku ora ngerti.
44. SABAR: Pak dhe, Penjenengan kedah purun wangsul dhateng garising bebener lho Dhe. Pakdhe kedah saget ngowah lelampahan niki murih mboten ndadosaken bencana, ingkang ngremuk, ngrerujit lan ngrusak bebrayan lho Dhe!
45 PAK RASA: Ora.. ngono Bar..! Aku kuwi wong lanang kang duwe hak lan kewajiban nglindungi sapa wae. Aku pingin ngenthengake sesangganing urip sapa wae. Sapa wae kang lagi nandhang pepeteng, aku wajib niyungake tanganku menehi obor murih bisane ketemu pepadhang. Yen ana wong kang krasa ngelak lan luwe, wis dadi wajibku tetulung murih mari ngelak lan luwe kanthi caraku dhewe….
46. SABAR: Sampun…sampun…! Ngendika sampeyan niku bener ning mboten pener. Bebener niku ampun ngantos kaukur kaliyan angkara-murkaning pribadi. Bebener niku kedah jumbuh lan pas kangge sagung dumadi. Sampun ngrisak bebrayan agung ingkang linambaran wewarah suci lumantar agami.
47 PAK RASA: Aku tumindak wis kanthi dhasar rasa-pangrasa. Rasa sing tak udi wis nuwuhake pamecuting rasa sejati. Olah rasaku mbok menowo wis ndadekake tumiyunge pakarti aji. Mula wis trep yen jenengku “Pak Rasa” Bar! [SAJAK NGETOKAKE SOMBONGE]
48. SABAR: Pakerti aji ingkang pundi? Nyuwun sewu lho Dhe, mbok bilih mboten pas anggen Sampeyan ngendikan. Pangandikan ingkang mboten wonten bukti kasunyatanipun, menika tegesipun muspra tanpa guna. Tanpa wonten gina lan manfangati kangge brayat minulya. Prasasat aji godhong garing Dhe..!. Sedaya menika sumongga Sampeyan piyambak ingkang priksa.
Bukti kasunyatanipun mboten wonten ingkang mangertosi kejawi Penjenengan piyambak. Nanging sedoyo ingkang Sampeyan ngendikakaken punika, kula tetep mboten pitados.
49 PAK RASA: ( Ha.. ha…ha..) Sabar.. Sabar ! Ya… kowe dadi bocah ya pancen sabar….. !!
[ PAK RASA NGGUYU NGAKAK TERUS, SUWE-SUWE ILANG KARI LAMAT-LAMAT KETUTUP SWARANING IRINGAN MUSIK]
ADEGAN III
[ IRINGAN MUSIK ALUS, NGLANGUT, NGGAWE SUMEDHOTING ATI PARA MIYARSA/PAMRIKASA. GANTI SWASANA SING NGAMBARAKE WEKTU SORE PAK DIRNO LAN BU DIRNA LAGI PASATEMON ANA NGOMAH. BU DIRNO LAGI LEMPIT-LEMPIT SANDHANGAN, SULAK-SULAK MEJA. BU DIRNO OMONG DHEWE NGUDO RASA LELAKONE URIP KANG NRENYUHAKE ATI].
50. BU DIRNO: Sore iki, atiku ora kaya biasane. Atiku rumongsa morak-marik kaya sandhangan sing uwis tak racik iki. Sandhangan kang durung tak setlika pating jeketut, nglinthing-nglinting kaya godhong garing, nuduhake kahanane jroning atiku kaya ketekuk-tekuk, kang kebulet dening obah-musiking kahanan ndonya kang sarwa onya.
Aku rumongsa seseg, sumpeg, kaya gejepiting mangsa; Wektu sing kudune tak gunakake kanggo ngabdi marang Gusti, anak lan bojoku, mung tak nggo nguyak-uyak dhuwit lambang kamulyaning urip, nanging kasunyatan aku wis picak! Ora bisa mbedakake sejatining urip, lan urip kang sejati.
Aku rumongsa gejlungub ing samodra; Gegayuhan kang luhur sing tak sok-suntakake kanggo kelurga, ora nate katon kasile, malah kepara kejungkel-jungkel uripku.
Sejatine tumindak iki mrentul saka poking ati; Pingin nglahirake batinku, aku pingin nyembul saka kahanan kang sarwa pas-pasan, dadi uwong sing sarwa luwih samubarange;
Mung Gusti durung paring kasunyatan. Dalan kang lener, bener, lurus, lan mulus ora tak liwati malah kepara tak singkiri. Aku nrejang dalan kang kebak blethok, lethong, eri lan beling. Iki kasunyatan uripku. Urip kang kebak pacoban, Ya… pancen pacoban iki kudu tak lakoni. Aku rumongsa kesandunging rata; Gejegluking awang-awang. Sejatine ora ana wong sing mangerteni mungguh borok sing wis bosok, koreng sing wis nggambrat arus bacine, kejoba aku pribadi. Iki kang dadi wewadi… [SEDIH, KEKES, NGRANTES ELING LELAKONE , PAK DIRNO TEKA SAKA LELUNGAN MUNG WIS NGGAWA HAWA CURIGA, IRINGAN MUSIK ALUS NDUDUT ATI JUMBUH KARO SWASANA ].
51. PAK DIRNO: Bu, aku kok kaya ngrasakake kekes. Kaya ana kahanan kang mbedakake antarane wektu iki, karo wektu rong bengi kepungkur?
52. BU DIRNO: Mboten wonten bentenipun kok Pak! Kados-kados raosipun sami., mboten wonten ingkang benten.[NUTUPI YEN BUBAR NANGIS]
53. PAK DIRNO : Wengise ombak lan angin lesus kang ora dinyono-nyono, bakal nyengsarakake prahu kang uwis lelayaran teka neng tengahing samudra. Iki sing ndadekake kekesing atiku.
54. BU DIRNO: Kula mboten ngraosaken punapa-punapa Pak. Namung saget kemawon, raos kekes Penjenengan punika amargi jendhela kamar sisih wetan menika ingkang mbikak kesembul angin.
55. PAK DIRNO : Apa ya bener angin kang njembul bolongan jendhela kuwi sing ndadekake kekesen atiku! Angin semilir kang nggawa khabar lamat-lamat, ora ndadekake pikirku seneng kaya biasane. Angin iki, angin sing bakal ngundang prahara, apa angin iki sing arep ngremuk, ngrusak samubarang kang ana ngomah iki Bu!
56. BU DIRNO: Penjenengan pidados Pak, bilih angin ingkang mrojol ngebaki lebeting griya punika, mesthi badhe migunani dhateng gesang kita.
57. PAK DIRNO : Lesus sing wis tak rasakake iki kaya-kaya bakal njugrugake pangarep-arep. Pajangka sing mbok omongake saben ndina kae bakal kawus, bakal lampus!
58. BU DIRNO: Pak, tekat kula, semangat kula sampun mboten saget kula gambaraken. Badhe kula terjang sedaya pepalang. Amrih cekaping kebetahan ugi cekapiping keluarga. Jer sedaya kalawahu namung kangge njejegaken bale griya. Kula lila legawa. Kula mboten dora Pak.
59. PAK DIRNO : Omonga sing jujur. Sebab jujur mono mungguhing aku rega kepribaden yang paling unggul. Wis akeh tuladha, menawa kejujuran wis padha disepelekake, malah-malah kejujuran iki mung kanggo kembang lambe wae, wekasane, sigrak mawak-mawak, remuk suduk, kabeh mung padha nandhang wirang, bebendu bakal nyengsarakake saklawase.
Ampak-ampak wedhus gembel sing wis nggawa khabar ruwet, wis ngrucat lan ngrusak atiku iki, arep tak wiyak lan arep tak buktekake bener apa luput.
60. BU DIRNO: Pak… Penjenegan punika ngendika menapa? Lha kersa Penjenegan niku pripun? Jujur sing kados pundi? Kula sampun jujur. Kula pun jujur Pak! Kula pados arta kangge ngabdi Penjenengan amrih mulyaning bale griya.
61. PAK DIRNO: Lambemu sing tipis uwis ndadekke wasismu, aku ora maido! Pintere muter pucuk ilatmu, uwis ngilangake kapercayanku. Sanadyan khabar wis sumebar lan wis ngobong isine atiku, aku pingin ngerti sepira tanggung jawabmu.
62. BU DIRNO : Sumangga kersa Penjenengan! Kula pun matur yen…
61. PAK DIRNO : Yen ndulu cumlorotin lintang alihan kaya-kaya menehi sasmita marang aku, menowo ana saknjeroning bebrayan iki, tinemu salah sawijine manungsa sing uwis gelem laku sedheng. Nerak laku utama, gulet karo bujuke setan gundhul. Embuh lanang utawa wadon, mung manut rasaku wewadi iki kudu enggal-enggal ndak wiyak.
63. BU DIRNO : Lha niku sinten,… Sinten, ….. Pak?
64. PAK DIRNO : Aja ethok-ethok tambuh, ‘Niku sinten… Niku sinten’ Ngertiya, sejatine ana priya sing tampa tak nyono-nyono wis wani ngusak pager ayu ana ing keluargaku. Semono uga, kowe wis negakake laku sedheng kang tanpa tok etung untung rugi tembe mburine.
64. BU DIRNO: [MBEGEGEG MUNG NGADEG KAYA PATUNG, ORA WANI OMONG MALAH KEPARA NDROJOS LUH LAN NANGIS MINGSEG-MINGSEG]
65. PAK DIRNO : Coba… omonga sing jujur mungguh kepriye larah-larahe?
66. BU DIRNO: Kula.. madosi arta kula Pak. Kula…. Mboten tumindak….
67. PAK DIRNO : Wis tekan titiwancine yen lelakonmu sing njijiki kuwi kudu mbok lereni tekan semene wae.
68. BU DIRNO: [SADHAR, NANGIS SERU, SAYA SERU] Ya.. Allaaaah… ! Kula nyuwun pangapunten Pak! Kula nyuwun ngapunten! Kula ngaku lepat… Pak. Kula lepat. … Kula nyuwun pangapunten! Duuhh… Gustiiii….!
69. PAK DIRNO : [KAGET MARANG KASUNYATAN] Dadi pranyata bener ta khabar kang tak tampa? Dadi bener omonge Sabar kae! [NYEBUT –NYEBUR SABAR KANTHI SERU] Kowe bener Bar….! Kowe bener… Bar…! Omongmu bisa tak percaya Bar!... Kena apa bojoku sing apus-apus? Kudune aku sing patut tumindak nista, kok bojoku! Kowe..jujur Bar ..! Kowe dadi dalane mbukak wewadi iki! Sabaaaaaar…… bener omongmu! [KAYA WONG KESURUPAN]
70. BU DIRNO: [MINGSEG-MINGSEK NANGIS] Pak, kula pun ngaku lepat! Kula nyuwun pangapunten. Pancen kula nate tindak laku sedheng, kanthi ancas mrih jejeging keluarga. Kula rumaos kejiret lakuning setan. Ning Penjenengan pitados dhateng kula, bilih jiwa raga kula namung kangge keluarga, jiwa raga kula mung mligi kagem Penjenengan lan anak-anak kita Pak. Kula pun kapok, kula mboten badhe mbangsuli lelakon niki Pak…, kula penjenengan paringi pangapunten Pak…, kula…lepat Pak… [NANGIS]
[DUMADAKAN ANAKE KANG ARAN DENOK TEKA SAKA PARAN, KAGET WERUH KEDADEYAN ING NGOMAHE]
71. DENOK :Pak… wonten kedadosan punapa Pak? Ibu… wonten kedadosan punapa?
72 PAK DIRNO: [MUNG MENENG, GETEM-GETEM NYAWANG BU DIRNO, NYAWANG DENOK ORA UWIS-UWIS KOYO WONG ORA WARAS]
73 DENOK: Pak.. Bapak sampun kados mengaten Pak, Bapak… sampun kados mekaten. Kula tresna Bapak…. Kula badhe mbantu Bapak. Wonten kedadosan punapa Pak…?
74 PAK DIRNO: Ibumu… ibumu….wis nyata laku sedheng… Setaaaan!...Setaaaaann!!!
75 DENOK: Masyaallah…. Buuuuu! [NANGIS NGRUNGKET IBUNE] Ibu…. , Ibu…. Kok saget wonten lelampahan mekaten ta, sadhar nggih Bu…., sadhar….nggih?
76 BU DIRNO: Ibu salah Nok! Ibu wenehana pangapura ya Nok? Ibu rumongsa kecemplung ing laku nistha. Ibu pengin nggayuh kamulyaning ndonya Nok. Ibu wis rumongsa luput, luput marang panjangka. Bandha donya sing tak gadhang-gadhang, pranyata dhadekake ibumu dadi wong wengis, gelum nglakoni tumindak dosa kepencut lakune setan edan. Aku wis sadhar, yen bandha donya kuwi ora nggawe mulyaning ati. Atiku sedih… atiku ya rusak..! Aku sadhar..
Aku wenehana pangapura ya Nok?
73 DENOK: Nggih sampun…., sakniki pun cetha. [NYERAKI BAPAKNE] Pak.. sabar nggih Pak! Kula pitados Bapak kiat nglampahi pacoben menika Pak! Kula pitados kanthi lampahan punika ndamel Bapak sansaya tambah wibawa. Kula sakalangkung pitados kasantosanipun Bapak!
74. PAK DIRNO: Terus aku kudu piye? Ibumu sing tansah dadi lambang martabate wanita ing keluarga, wis nyidrani aku! Aku dadi kepala keluarga kang gagal Nok!
75. DENOK: Penjenengan pitados Pak, sak wingkingipun kegagalan, insyaallah badhe pinanggih kesuksesan, sakwingkingi kesedihan, badhe manggih kebingahan. Pitados mawon Pak kaliyan Gusti.
76 PAK DIRNO: Lha.. Bapak terus kudu kepriye Nok?
77 DENOK: Penjenengan kula suwun tetep minangka Bapak wonten keluarga kita Pak! Keluarga kita kedah tetep nyawiji, kangge masa depan kula lan adik-adik kula.
78. PAK DIRNO: Nanging Ibumu wis…..
79 DENOK: Sampun Pak! Punika ingkang dipun wastani takdir, tegesipun lelampahan punika kedah wonten. Menawi Pangeran sampun ngersakaken mekaten, mila kita kedah purun nampi takdiring Gusti. Kita namung sadremi nglampahi. Bapak kula suwun kersa maringi pangapunten Ibu, nggih Pak!
80. BU DIRNO: Nggih.. kula nyuwun pangapunten nggih Pak, kula pun mertobat. Kula salaaah… Pak. Kula pasrah badhe Penjenengan ukum, kula nderek! Panyuwun kula, mugi Penjenengan kersa maringi kesempatan dhateng kula, kangge mertobat lan mboktekaken kejujuran kula Pak. Kula pingin nubus dosa kula Pak! [PAK DIRNO MUNG MENENG, KEMBENG-KEMBENG TANGIS PANALANGSA. PANYAWANGE KATON KOSONG]
81 DENOK: Saben tiyang gesang kedah purun nampi pacobening Pangeran. Pangeran paring ujian dhateng umatipun sampun selaras kalian martabat, pangkat lan drajatipun. Ujian Pangeran ingkang kapapingaken dhateng umatipun warni-warni, sampun dipun jumbuhaken awrat lan enthingipun. Mugi lelampahan punika, dados pemut dhumateng kita.
Ujian saking Gusti saget arupi tsunami, lindhu, banjir bandang, angin lesus, udan barat, sakit lumpuh, ugi wujud punapa kemawon, kados ingkang sampun kita lampahi lan ingkang kita raosaken punika.
Kula nyuwun dhateng Bapak lan Ibu, mangga kanthi prastawa menika, mugi saget nggigah manah kita piyambak-piyambak. Kanthi prastawa menika, mugi ndadosno kita saget sansaya celak lan pitados dhateng panguasaning Gusti.
Mboten wonten ginanipun ngrembag lelampahan ingkang sampun. Sumangga …Bapak enggal paring pangapunten dhumateng Ibu. Semanten ugi Ibu, mugi prastawa punika, ndadosaken kaca brenggala kangge ngadhepi panggesangan kita saklajengipun.
[BAPAK / IBU DIRNO LAN DENOK PADHA SAWANG-SINAWANG, AWEH TENGER YEN UWIS BISA NAMPA LELAKON SING ABOT, SEMONO UGA DENOK TERUS NGGAPRUK MARANG BAPAK LAN IBUNE.]
Tamat
Para Paraga : 1. Pak Dirno
2. Bu Dirno
3. Pak Rasa (Blantik sapi)
4. Sabar (Bocah nom-noman ing Desa)
5. Denok ( Prawan masiswa anake Bu Dirno)
ADEGAN I
PANGGUNG KAYO KAHANANE KAMAR KELUWARGA KANG PRASAJA, ANA MEJA, KURSI, LINCAK DOWO; MENEHI KESAN MARANG PAMIRSA YEN PAPAN KUWI OMAHE PEGAWAI SING ORA DUWE PANGKAT DHUWUR. KATON SWASANANE WEKTU SORE NDUNGKAP WENGI WIS PODHO RAMPUNG ANGGONE MAKARYO. PAK DIRNO MENGANGGO SARWA SAKMADYA. MUNG YEN BU DIRNO KATON LUWIH TUMATA ANGGONE NYENYANDHANG. KATON YEN SENENG NGUDI SALIRA
IRINGAN MUSIK LEMBUT KATON SEGER YEN DIRASA. SAYA SUWE SAYA ALON. LAMPU DIGAWE DIMEN JUMBUH KARO SWASANA BENGI.
1. PAK DIRNO: [LINGGUH LINCAK KALUNG SARUNG, SINAMBI NGOMBE WEDANG, KALA-KALA NYEDHOT WUDUT LAN SINAMBI NGISIK-ISIK PIPANE, OMONG DHEWE GRENEGAN BABAGAN KAHANAN SING DIRASAKAKE ING ATINE]
Omonge arep ono operasi pasar? Mendah bungahe yen pancen bisa kaleksanan ana operasi pasar.
2. BU DIRNO : Mbok kersane to Pak. Awake dhewe mengku karep nopo?
4. PAK DIRNO :Karoben rakyat rada penak uripe.
5. BU DIRNO :Ning kapan operasi pasar wonten kasunyatane? Lha reregan barang-barang wis padha mundhak kathik Pamarintah iki kok mung meneng bae. Karepe ki kepriye Pamarintah ki?
Apa lali gek jaman arep PEMILU kae? Kandhane arep ngangkat martabate para kawula cilik? Lha kok, ya ora ana kasunyatane. Apa maneh awakku iki, jan.. ora nate bisa kelakon ngowahi nasib.
Eh.. lha iya kaya aku iki pegawe cilik, gajine mung mung sithik kok ngrembug babagan operasi pasar barang.
Aku iki dudu ekomom, aku dudu politikus, mung aku peduli marang wong cilik. Jalaran aku ya klebu wong cilik. Nadyan mangkono aku bombong karo atiku dhewe, wong-wong kiwa tengenku padha weweh predikat nyang aku “seniman”, malah ana sing ngarani mubalig. Heh.. aku kok ngguyu dhewe yen kelingan, kok bisa-bisane aku duwe kasenengan ana ing jagating seni. Karoben ana keseimbangan, kawruh agama ya tak udi sak bisa-bisane.
Lelakonku ngeni iki isih tak anggep kanugrahan! Tinimbang Kang Dipo sing mapan ana mburi omah kuwi. Sing penting padha sehat anak bojoku, bisa nyandhang lan mangan, nadyan pas-pasan. [NYRUPUT WEDANG]
Reregan beras, gula, minyak wis kabeh padha mundhak. Malah kepara wis ganti rega! Sakeh barang kebutuhan pokok padha mundak regane. Wragad sekolah ya ora ana sing murah. Sekolah-sekolah favorit ragate saya melangit, meh saben wong padha njerit. Njerit yen ngelingi lelakon urip. Saweneh barang ora ana sing murah, kabeh larang regane. Sing murah mung janji-jani manis, goroh, apus-apus ngganggo tembung lamis.
Sakeh barang ing warung lan toko padha mundhak. Sing ora mundhak mung…
2. BU DIRNO : [NYELO-NYELO PINGIN MELU URUN REMBUG NING ATINE MANGKEL]
Gaji Sampeyan Pak…! Seprana-seprene… nggih mung kaya ngene Pak! Gek kapan saget mindhak pangkat kados Sukir nika! Yen pangkat mawon mboten mundhak, Napa esoh mundhak dhuwite. [OMONGAN DHEWE SEMU RADA NYINDHIR NYANG BOJONE] Gek pripun, lha wong pangkat drajat kuwi di udi kok. Ya ora ana pangkat drajat bisa teka dhewe. Wong Bapak ora ana usaha. Kapan bisa mulya. Pak, sampeyan mikir, pripun nasipe dhewe niki seprana-seprene mung ngeten mawon Pak!
3. PAK DIRNO: {KATON TENANG, KAYA-KAYA TANPA BEBAN] Pangkat drajat, rejeki, lahir lan pati iku kagungane Gusti! Kowe kudu ngerti, wong omong ki rak ya etung-etung. Mbok sing ayem pikirmu ta Bu. Mbok kaya Yu Ginah kidul omah kuwi lho. Yu Ginah kuwi kena tok nggo tuladha. Nrima, gelem ngrekasa, ora nate nggayuh samubarang kang pancen dudu ukurane lan dudu darbeke. Kowe aja malah nglarakake atimu dhewe. Nadyan mangkono, awake dhewe ki rak isih duwe pangarep-arep ta? Percaya wae marang Gusti! Percaya marang adhiling kang Kuwasa. Rekasamu lan rekasaku iki wis padha dikarepake.
4. BU DIRNO: Bapak bola-bali mung ngendika kaya ngono. Kula pun ngreti karep sampeyan Pak. Ning napa wong urip niku mung kedah percaya kalih pepesthen? Pancet ngeten terus?
Kula niki wong wadhon Pak, kula duwe rasa. Pancen…, drajat, pangkat, pati lan rejeki niku kagungane Gusti. Nggih pancen niku pun kula ngretosi, ning napa awake dhewe niki mboten ngulir budi? Mboten Pak, Mboten…..! Awake dhewe kudu saget mbudidaya pripun keluarga niki saget jejeg, kecukupan lahir lan batin. Naah.. seneng!
5. PAK DIRNO: Ya pancene kudu ngono, nanging awake dhewe iki mung sakdrema nglakoni Bu. Iki kang aran takdir. Ayo yen bisa awake dhewe bisa urip sing sabar, narima ing pandum, tansah eling lan sumarah mring Gusti kanthi ngibadah lan nyuwun karidhaning Pangeran kang Mahasuci. Sabar,… sabar…aja kemrungsung kaya wong arep nguyak maling….
6. BU DIRNO: [KATON WIWIT ORA SABARE] Tanpa tumindak nggih mboten bakal kecandhak Pak. Tiyang gesang niku wajib ngupaya amrih kecekap betahipun. Tanpa usaha mboten bakal tekan gegayuhane awake dhewe niki Pak! Sing penting wong urip niku kudu duwe dhuwit. Yen pun duwe dhuwit, atine seneng, pingin bondha donya napa mawon kelakon, seneng! Seneng Pak! [SAJAK NGECE] Ning yen awake dhewe niki cumleng….. cumleng Pak!
7. PAK DIRNO: [KAGET ATINE, MELAS RASANE KRUNGU OMONGE BOJO] Owahen laku-jantrane pikirmu! Elingana marang wewatoning urip. Jumbuhna antarane rasa sing kudu mbok imbangi karo kasunyatan kang wis kapacak ana ing lembaring garising pepesthi.
Coba rasakna, kepriye saeba ngrekasane atimu yen tak peksa nglayani ubenging jantraning atiku sing tanpa wates? Aku percaya yen kowe ora bakal bisa sembada. Ora bakal bisa tumindak sing sak njabaning keprigelanmu dhewe. Aja seneng meksa-meksa kahanan. Aku iki isih manungsa lumrah, aku ini dudu malaikat, aku duwe wates lan wewaton kang uwis dirakit ing kodrat uripku.
8. BU DIRNO: Yen mung ngoten niku tegese Penjenengan mboten purun ngudi mrih mulyaning urip? Wong urip niku…
9. PAK DIRNO: Ya.., aku wis ngerti yen urip mengkono, mungguhmu mung bandha lan donya. Urip mung mbok nggo mburu kadonyan sing saknyatane mung fatamurgana, kepalsuan Bu, ora ana kasunyatan sejati. Uripmu ora mbok gunakke kanggo ngolah rasa, ora mbok gunakae kanggo ngudi mungguh piye mangerteni sejatine urip kang sejati. Omongamu wis adoh saka martabating wanita sejati, sing kudune tansah ngluhurke lan bekti mring Gusti, nyang wong tuwane, bojone lan seneng narima ing pepesti. Tandang grayangmu wis owah mung merga mburu bondha lan donya. Saben-saben omong lerege mung tekan dhuwit, bondha lan donya. Eling ya.. Bu !
10. BU DIRNO: Ngih… Penjenengan badhe ngendika napa mangga! Nanging kula yakin lan pitados, bilih sedaya tiyang wonten ndonyo niki , mesthi butuhke bandha lan donya. Tiyang ingkang waras, mesthi remen dhuwit Pak, remen bandha lan donya!
11. PAK DIRNO: Mburua bandha donya kanthi alus, tulus, lan lurus tanpa ngurbanake kapribadhen Bu. Senenga ngulir nalar linambaran budi kang luhur. Unggah-ungguh, muna-muni, seneng lan gelem ngrasakake rasaning liyan. Gelem nrima ing pandum kang didasari rasa-pangrasa kang jembar tanpa winates.
12 BU DIRNO: Penjenegan badhe ngendika napa mangga! Penting kula niki esoh urip kang mulya. Urip mulya niku nganggo sarono. Saranane pun cetho. Napa ? Nggih mesthi mung arta. Arta Pak? ….Dhuwit Pak!
13PAK DIRNO: [KATON MBEDHOKOL NENG ATI, MUNG DIGAWE RASA SABAR, NGGUYU CEKAKAKAN] Lha.. rak tenan to? Dhuwit…. Dhuwit… mesti dhuwit! (Ha..ha…ha…}
14BU DIRNO: Lha pripun Pak? Kula mboten munafik Pak! Kasunyatan urip sing pun kula lampahi gesang bebrayan kaliyan Penjenengan niku, mbutuhke dhuwit. Kula pingin mulyakke sedaya keluarga. Nggih anak-anake dhewe, klebet penjenengan pribadi. Niki isine raos-pangraos kula Pak. Namung sedaya atur kula punika mesti mboten ndamel manah Bapak sekeco. Kula pidados! Nggih punika ingkang pun wastani perjuangan hidup Pak! Gesang kedah mawi perjuangan, pangurbanan. Kula pun wantun berjuang, tegese kula sampun ngurbanaken tenaga, muter akal lan mbudidaya kangge njejegake keluarga. Saben ndinten kula ngudi amrih mulyaning keluarga.
[NANGIS RUMONGSA SEMEDHOT ATINE, AWIT NGREKASA ATINE, KAYA-KAYA DISEPELEKAKE BOJONE] Niki pun dadi sifat-sifate wanita. Mboten namung kula, saben wanita mesthi remen bondha lan donya. Klebet kula Pak. [NANGIS MINGSEG-MINGSEG]. Niki tekat kula Pak! Tekat kula sing mboten badhe mundur sak pecak kemawon, kula pingin njejegaken ekonomi kuluarga kanthi cara kula. Yen perlu, kula rila kurban jiwa raga.
15. PAK DIRNO: Apa kang aran perjuangan hidup kuwi kudi ngorbanake luhur-budining wanita? Apa kang diarani perjuangan urip kuwi kudu ngilangake suba-sita? Apa kang diarani perjuangan kuwi kudu mlumpat saka pagering tata krama? Aja Bu…! Aja…!
16. BU DIRNO: Nggih kula manut Bapak, mung punapa Penjenengan saget nyembadani kebutuhan kula, kebutuhan sedaya keluarga? Kebetahan tiyang gesang niku kathah lho Pak. Betah niki, betah niku, jan… ora ana entek-enteke. Gesang ing bebrayan mbutuhaken wragad sing mboten sithik. Lha napa sampeyan saget? Pokoke, kados pundi carane, niki pun dadi tekat kula, kula pingin urip sing mulya. Pun …. Titik! [NINGGALAKE PAK DIRNO NYANG PEPUNGKURAN]
ADEGAN II
[MUSIK DIJUMBUHAKE KARO KAHANAN KANG SEDIH, SWASANA KLUARAGA KANG ISIH KATON UDUR NGREMBUG PRINSIP URIP, SAYA SUWE SAYA ILANG. GANTI SWASANA MUSIK SING SIGRAK NGLANTARAKE PASATEMONE ANTARANE PAK RASA LAN SABAR. DHEWEKE PADHA KETEMU ANO PAPAN KIOS PASAR SAPI. PAK RASA DUWE SIFAT SING RODO BLOBO, SENENG NGOMONGAKE APA WAE KLEBU RAHASIA PRIBADINE DHEWE]
17 PAK RASA: Bar…, Sabar..! Mrene.., mreneya wae...! Kowe arep golek sapi sing kaya ngapa? Rega sapi ki dha durung katon mundhak kok Bar! Bener sanadyan reregan minyak, gula, beras, lan ragad sekolah mundak, ning rega sapi durung bisa mundhak.
18. SABAR: Matur nuwun Dhe. Regi lembu sing ajeng kula potong kangge qorban tahun niki, kepara mung mirah-mirah kok Dhe! Tur nggih mboten kathah, namung sekawan lembu. Benten kaliyan tahun-tahun kepengker, menawi tahun kepengker, arisan qurban sapi ing ndusun kula rak ngantos gansal lembu. Nggih maklum Dhe, kathik golek dhuwit angele kaya ngene.
19 PAK RASA: Iya.. nanging mreneya ta! Aku dhuwe sapi sing bregas. Sawangen ta sapi iki! Pawakane entuk, sirahe bagus, wis patut yen mbok gunakake qurban dhewe. Coba piye, werna putih, bokonge cepor, tur ya uwis powel sisan. Qorban ki rak sing dipentingke mung daginge ta? Lha yen wis temu sapi kaya ngene iki, terus kurang apa? Iki lho daginge yo wis kebak.
20. SABAR : Dhe. Mboten mekaten, Qorban niku pun wonten angger-anggere. Kejawi umur, mboten cacat lan alit agengipun lembu niku ndadosaken sah hukumipun ibadah Qurban. Mboten cekap gedhe mawon. Daging kathah namung menawi dereng cekap umuripun ngih mboten sah Dhe!
Tiyang kula niki, mung pingin nonton-nonton kahanan reregen pasar kok Dhe!
21 PAK RASA: Iya, ning mreneya….delengen ta… delengen sapi iki! Sapi iki wis arep dibayar Sardi blantik wetan kono rega pitung yuta. Wis gek bathenono sithik wae. Penting aku entuk bathi sithik ora apa-apa. Entuk tambah paseduluran wae wis seneng kok. Tenan kuwi!
22. SABAR : Lah.. Dhe ..! Wong artane mboten wonten kok. Yen saget tumbas mbejang minggu ngajeng mawon.
23 PAK RASA: [PINGIN NGRAYU BEN SABAR GELEM] Kowe ki coba manuta aku! Iki mumpung ana kesempatan Sesuk durung mesthi yen ana sapi sing apike kaya ngene iki Bar! Coba delengen! Kowe ki kok ora ngerti barang apik to Bar? Wis gek pedhotono pira, sing penting tambahana rega penganyange Sardi mau.
24. SABAR : Ngih, tak pikir-pikire dhisik Dhe! Jaragan artane nggih tasik kirang.
25 PAK RASA: Whe lha… kowe ki Sabar tenan! [RODO NGECE] Cah enom kok koya ngono. Mbok dadi cah enom ki rodo agresif ngono lho Bar! Weruh sapi apike kaya ngene kok ora pengin. Lah sing arep mbok goleki sing rupa apa? Sing putih kuwi luwih larang tinimbang werna abang kae. Lha apa sing ireng kae, rada murah. Lha yen aku lho… ya sing putih kae, nglarangi sithik, ning jan maremake ati! Piye…? Apa malah sing sapi metal kae? Lha yen kae… regane rada larang, mung daginge wis jelas-jelas ora nguciwani…..!! Tenan kuwi… ayo piye?
26. SABAR: Mboten kok Dhe..Kula tak ngukur kekiyatan kula piyambak. Tiyang niku yen ndangak, mboten purun instruspeksi dhiri, akhire nggih mboten sae kedadosanipun. Kula tak trimah nonton-nonton reregen rumiyin kok Dhe. Tiyang artane nggih dereng jangkep kok.
27 PAK RASA: [ Ha..ha…ha…] Whe.. lha dalah…! Weruh pupu sapi ngene kok ya ora bergairah tho Bar?
Bar.. mreneya, nyedhaka aku kene, ayo tak kandhani…[MBISIKI KUPINGE SABAR, TERUS NGGUYU NGAKAK ] Ha…ha…ha… Menenga lho, aja kandha-kandha ...iki rahasia pribadi lho Bar!
28. SABAR: Trus sing sampeyan ngendikakke niku sinten to Dhe? Kula malah dados tansaya bingung mikir ngendika sampeyan Dhe! [SABAR OMONGAN DHEWE]. Apa iki kang diarani jaman edan kae po? Wong omonge khabar iki rahasia kok malah diomong-omongke? Subhanallah!
29 PAK RASA: Nah… yen kabar iki, kowe mesthi tak jamin satus persen seneng Bar ! Info aktual iki wis dudu ngrembug bab sapi maneh lho Bar! [LUNGGUH NYEDHAKI SABAR, SABAR DLONGAP-DLONGOP KOYO WONG BODHO]
Lho kuwi khabar temenan Bar..! Aku kuwi nganti arep piye? Yen arep tak bojo wong wis ono sing nduwe, lha yen ora tak bojo yo wis ngono kae [ Ha..ha…ha….]
Sapa uwonge ora kepencut karo Bu Dirno? Kowe rak wis ngreti to? Kok kowe malah dlongap-dlongop? Coba bayangno omongane, rupane, cara nyenyandhange….Wis ora nguciwani to? (Ha..ha…ha…)
30. SABAR: Astagfirullah Dhe! Kula mboten pitados yen Bu Dirno purun tumindak nyleweng, bradhat mbedhal saking garising wewaler luhur Dhe. Penjenengan ampun nyebar isu-isu murahan Dhe! Lha wong Pak Dirno, bojone Bu Dirno niku dados tepa tuladha tiang-tiang sak kampung kok. Malah-malah Pak Dirno niku asring ngisi pengaosan-pengaosan, sinaosa mung wedal wulan Romadhan. Masa bojone tumindak sedheng. Mboten! Mboten pitados kalih omongan sampeyan kok dhe. Mboten…! Mustahil… Dhe!
31 PAK RASA: Kowe ora percaya kena-kena wae Bar! Lha wong kowe ki bocah sing sabar, mula krungu khabar ngono ya sabar [NGECE SABAR KARO NGUYEK-UYEK RAMBUTE] Wong sing nglakoni wae aku kok mbok paido. Aku iki Pak Rasa, blantik sapi, siji-sijine wong neng desa kene. Masa aku goroh Bar? Pak Rasa lho Bar!. Lha kapan aku nate goroh?
32. SABAR: Nggih mboten ngaten Dhe.. mosok Bu Dirno wantun tumindak nista? Mboten … mboten pitados! Nyuwun sewu, Lha… sok malah saget, Pak Dirno piyambak ingkang tumindak nyleweng. Niki batin kula lhe Dhe!
Kula wantun matur karana Pak Dirna niku seniman. Kandel tipisipun antawis juru dakwah kalian kesenimananipun Pak Dirno saget mboten sami; Menawi piyambakipun langkung caket seninipun, biasanipun, ingkang sampun-sampun gampil lan celak sanget kaliyan tumindak ingkang mboten sae. Sebab wekdal, papan lan swasananipun seni punika, celak kalian pangudhaling raos. Kamongka raos meniko, saestunipun kandel tipisipun sakalangkung ngrekaos ukuranipun. Sing saget ngukur nggih mung pribadine seniman niku piyambak
33 PAK RASA: Bar… Sabar! Kowe ki omong apa? Apa kowe ki ahli filsafat pa?
34. SABAR: Mboten Dhe, kula mung pingin badhe matur bilih adat kebiasaanipun tiang seni langkung gampil ginubeting raos tresno dhaten ngasanes, langkung-langkung jaler lan wanita. Biasanipun tiyang menawi sampun nggilut salah satunggaling pakaryan seni, tiyang punika badhe migunakaken seni kangge ngalalaken pakarti jebatipun. Nggih wonten ing papan seni punika, minongka papan ingkang paling gampil manggihaken guleting raos katresnan.
35 PAK RASA: Yen kuwi aku ora ngreti Bar! Kuwi urusane para seniman. Aku iki dudu seniman. Aku iki mung blantik sapi!.
Sing esoh tak rasakake nganti wekti iki, Bu Dirno wis kumowani nuduhake sambung rapeting katrenan marang aku kang ngluwihi wates-watese antarane bojo lan wong liya. Iki sing ndadekake mumet sirahku Bar..![KATON BINGUNG NYAWANG KIWO-TENGEN KAYA NGALAMUN]
36. SABAR: Pak Dhe.. Rasa, ampun ngalamun tho Dhe!
37. PAK RASA: Lho, ngalamun piye to bocah iki?
38. SABAR: Penjenegan kok sakniki kados sastrawan ta Dhe? Yen sastrawan nika sing kula ngretosi, pinter ngathik lan ngrakit tembung-tembung, terus dados crita sing nggumunke,miriske, menopa ingkag nyedihke. Sastrawan punika mung modhal ndhagi muter lan ngubeng-ubengke tembung sing ditata kanthi dhakik-dhakik.. Ning… nyuwun sewu lho Dhe, Penjenengan ki rak mung bakul sapi kok pinter ngarang crita?
39 PAK RASA: [MISUH-MISUH NING SENENG] Hus.. kangkrengkane ki ! (Ha..ha… ha..) Kowe ngertiya, yen Bu Dirno kuwi sejatine wis ora seneng karo bojone! Lha piye ta, bojone ki rak wis ora bisa ngalor ngidul. Mudheng?... Mudheng ora…? Tenan aku melas, aku kepingin arep ngentasake problem keluargane!.
40. SABAR: Lah..Dhe, sampun! Subhanallah…!! Kula tetep mboten pitados kalih ngendika sampeyan. Ewa semanten kula nggih mboten badhe pitados dhateng panggrahita kula sing awon dhateng Pak Dirno, sebab antawis siniman, lan mubalig niku sami-sami gadhah bobot sing mentes lan jentes. Liripun sami-sami nggadhai jiwa ingkang agung.
41 PAK RASA: Aku dudu seniman lan aku dudu mubalig lho Bar..!
Lha piye, apa kowe malah tak ajak ngrasakake mungguh nikmat lan enake yen mabur neng ngawang-awang langit sappitu pa? Tak kira Bu Dirno ya gelem. Wong kowe ya bagus kaya ngono. (Ha..ha..ha..).
Sejatine aku ya rumongsa salah. Nanging iki kabeh wis tak niati kanggo nggawe temtrem atine Bu Dirno.
42. SABAR: Subhanallah …! Ngendika sampeyan niku nggih mboten sae tumraping bebrayan agung Dhe! Ngendika sampeyan mung golek benere dhewe! Yen pancen pun mekaten, tegesipun sampeyan pun ancik-ancik mlebet ing bebenduning Gusti.. Istifar Dhe…! Astagfirullah…..! Tobat ..nggih Dhe..!
43 PAK RASA: Ya…..! Rasa kaya ngono kuwi mesthine saben menungsa sing waras mesthine duwe.. [PRAUPANE KATON KHUATIR] Ning aku iki wong waras apa ora? Aku ora ngerti.
44. SABAR: Pak dhe, Penjenengan kedah purun wangsul dhateng garising bebener lho Dhe. Pakdhe kedah saget ngowah lelampahan niki murih mboten ndadosaken bencana, ingkang ngremuk, ngrerujit lan ngrusak bebrayan lho Dhe!
45 PAK RASA: Ora.. ngono Bar..! Aku kuwi wong lanang kang duwe hak lan kewajiban nglindungi sapa wae. Aku pingin ngenthengake sesangganing urip sapa wae. Sapa wae kang lagi nandhang pepeteng, aku wajib niyungake tanganku menehi obor murih bisane ketemu pepadhang. Yen ana wong kang krasa ngelak lan luwe, wis dadi wajibku tetulung murih mari ngelak lan luwe kanthi caraku dhewe….
46. SABAR: Sampun…sampun…! Ngendika sampeyan niku bener ning mboten pener. Bebener niku ampun ngantos kaukur kaliyan angkara-murkaning pribadi. Bebener niku kedah jumbuh lan pas kangge sagung dumadi. Sampun ngrisak bebrayan agung ingkang linambaran wewarah suci lumantar agami.
47 PAK RASA: Aku tumindak wis kanthi dhasar rasa-pangrasa. Rasa sing tak udi wis nuwuhake pamecuting rasa sejati. Olah rasaku mbok menowo wis ndadekake tumiyunge pakarti aji. Mula wis trep yen jenengku “Pak Rasa” Bar! [SAJAK NGETOKAKE SOMBONGE]
48. SABAR: Pakerti aji ingkang pundi? Nyuwun sewu lho Dhe, mbok bilih mboten pas anggen Sampeyan ngendikan. Pangandikan ingkang mboten wonten bukti kasunyatanipun, menika tegesipun muspra tanpa guna. Tanpa wonten gina lan manfangati kangge brayat minulya. Prasasat aji godhong garing Dhe..!. Sedaya menika sumongga Sampeyan piyambak ingkang priksa.
Bukti kasunyatanipun mboten wonten ingkang mangertosi kejawi Penjenengan piyambak. Nanging sedoyo ingkang Sampeyan ngendikakaken punika, kula tetep mboten pitados.
49 PAK RASA: ( Ha.. ha…ha..) Sabar.. Sabar ! Ya… kowe dadi bocah ya pancen sabar….. !!
[ PAK RASA NGGUYU NGAKAK TERUS, SUWE-SUWE ILANG KARI LAMAT-LAMAT KETUTUP SWARANING IRINGAN MUSIK]
ADEGAN III
[ IRINGAN MUSIK ALUS, NGLANGUT, NGGAWE SUMEDHOTING ATI PARA MIYARSA/PAMRIKASA. GANTI SWASANA SING NGAMBARAKE WEKTU SORE PAK DIRNO LAN BU DIRNA LAGI PASATEMON ANA NGOMAH. BU DIRNO LAGI LEMPIT-LEMPIT SANDHANGAN, SULAK-SULAK MEJA. BU DIRNO OMONG DHEWE NGUDO RASA LELAKONE URIP KANG NRENYUHAKE ATI].
50. BU DIRNO: Sore iki, atiku ora kaya biasane. Atiku rumongsa morak-marik kaya sandhangan sing uwis tak racik iki. Sandhangan kang durung tak setlika pating jeketut, nglinthing-nglinting kaya godhong garing, nuduhake kahanane jroning atiku kaya ketekuk-tekuk, kang kebulet dening obah-musiking kahanan ndonya kang sarwa onya.
Aku rumongsa seseg, sumpeg, kaya gejepiting mangsa; Wektu sing kudune tak gunakake kanggo ngabdi marang Gusti, anak lan bojoku, mung tak nggo nguyak-uyak dhuwit lambang kamulyaning urip, nanging kasunyatan aku wis picak! Ora bisa mbedakake sejatining urip, lan urip kang sejati.
Aku rumongsa gejlungub ing samodra; Gegayuhan kang luhur sing tak sok-suntakake kanggo kelurga, ora nate katon kasile, malah kepara kejungkel-jungkel uripku.
Sejatine tumindak iki mrentul saka poking ati; Pingin nglahirake batinku, aku pingin nyembul saka kahanan kang sarwa pas-pasan, dadi uwong sing sarwa luwih samubarange;
Mung Gusti durung paring kasunyatan. Dalan kang lener, bener, lurus, lan mulus ora tak liwati malah kepara tak singkiri. Aku nrejang dalan kang kebak blethok, lethong, eri lan beling. Iki kasunyatan uripku. Urip kang kebak pacoban, Ya… pancen pacoban iki kudu tak lakoni. Aku rumongsa kesandunging rata; Gejegluking awang-awang. Sejatine ora ana wong sing mangerteni mungguh borok sing wis bosok, koreng sing wis nggambrat arus bacine, kejoba aku pribadi. Iki kang dadi wewadi… [SEDIH, KEKES, NGRANTES ELING LELAKONE , PAK DIRNO TEKA SAKA LELUNGAN MUNG WIS NGGAWA HAWA CURIGA, IRINGAN MUSIK ALUS NDUDUT ATI JUMBUH KARO SWASANA ].
51. PAK DIRNO: Bu, aku kok kaya ngrasakake kekes. Kaya ana kahanan kang mbedakake antarane wektu iki, karo wektu rong bengi kepungkur?
52. BU DIRNO: Mboten wonten bentenipun kok Pak! Kados-kados raosipun sami., mboten wonten ingkang benten.[NUTUPI YEN BUBAR NANGIS]
53. PAK DIRNO : Wengise ombak lan angin lesus kang ora dinyono-nyono, bakal nyengsarakake prahu kang uwis lelayaran teka neng tengahing samudra. Iki sing ndadekake kekesing atiku.
54. BU DIRNO: Kula mboten ngraosaken punapa-punapa Pak. Namung saget kemawon, raos kekes Penjenengan punika amargi jendhela kamar sisih wetan menika ingkang mbikak kesembul angin.
55. PAK DIRNO : Apa ya bener angin kang njembul bolongan jendhela kuwi sing ndadekake kekesen atiku! Angin semilir kang nggawa khabar lamat-lamat, ora ndadekake pikirku seneng kaya biasane. Angin iki, angin sing bakal ngundang prahara, apa angin iki sing arep ngremuk, ngrusak samubarang kang ana ngomah iki Bu!
56. BU DIRNO: Penjenengan pidados Pak, bilih angin ingkang mrojol ngebaki lebeting griya punika, mesthi badhe migunani dhateng gesang kita.
57. PAK DIRNO : Lesus sing wis tak rasakake iki kaya-kaya bakal njugrugake pangarep-arep. Pajangka sing mbok omongake saben ndina kae bakal kawus, bakal lampus!
58. BU DIRNO: Pak, tekat kula, semangat kula sampun mboten saget kula gambaraken. Badhe kula terjang sedaya pepalang. Amrih cekaping kebetahan ugi cekapiping keluarga. Jer sedaya kalawahu namung kangge njejegaken bale griya. Kula lila legawa. Kula mboten dora Pak.
59. PAK DIRNO : Omonga sing jujur. Sebab jujur mono mungguhing aku rega kepribaden yang paling unggul. Wis akeh tuladha, menawa kejujuran wis padha disepelekake, malah-malah kejujuran iki mung kanggo kembang lambe wae, wekasane, sigrak mawak-mawak, remuk suduk, kabeh mung padha nandhang wirang, bebendu bakal nyengsarakake saklawase.
Ampak-ampak wedhus gembel sing wis nggawa khabar ruwet, wis ngrucat lan ngrusak atiku iki, arep tak wiyak lan arep tak buktekake bener apa luput.
60. BU DIRNO: Pak… Penjenegan punika ngendika menapa? Lha kersa Penjenegan niku pripun? Jujur sing kados pundi? Kula sampun jujur. Kula pun jujur Pak! Kula pados arta kangge ngabdi Penjenengan amrih mulyaning bale griya.
61. PAK DIRNO: Lambemu sing tipis uwis ndadekke wasismu, aku ora maido! Pintere muter pucuk ilatmu, uwis ngilangake kapercayanku. Sanadyan khabar wis sumebar lan wis ngobong isine atiku, aku pingin ngerti sepira tanggung jawabmu.
62. BU DIRNO : Sumangga kersa Penjenengan! Kula pun matur yen…
61. PAK DIRNO : Yen ndulu cumlorotin lintang alihan kaya-kaya menehi sasmita marang aku, menowo ana saknjeroning bebrayan iki, tinemu salah sawijine manungsa sing uwis gelem laku sedheng. Nerak laku utama, gulet karo bujuke setan gundhul. Embuh lanang utawa wadon, mung manut rasaku wewadi iki kudu enggal-enggal ndak wiyak.
63. BU DIRNO : Lha niku sinten,… Sinten, ….. Pak?
64. PAK DIRNO : Aja ethok-ethok tambuh, ‘Niku sinten… Niku sinten’ Ngertiya, sejatine ana priya sing tampa tak nyono-nyono wis wani ngusak pager ayu ana ing keluargaku. Semono uga, kowe wis negakake laku sedheng kang tanpa tok etung untung rugi tembe mburine.
64. BU DIRNO: [MBEGEGEG MUNG NGADEG KAYA PATUNG, ORA WANI OMONG MALAH KEPARA NDROJOS LUH LAN NANGIS MINGSEG-MINGSEG]
65. PAK DIRNO : Coba… omonga sing jujur mungguh kepriye larah-larahe?
66. BU DIRNO: Kula.. madosi arta kula Pak. Kula…. Mboten tumindak….
67. PAK DIRNO : Wis tekan titiwancine yen lelakonmu sing njijiki kuwi kudu mbok lereni tekan semene wae.
68. BU DIRNO: [SADHAR, NANGIS SERU, SAYA SERU] Ya.. Allaaaah… ! Kula nyuwun pangapunten Pak! Kula nyuwun ngapunten! Kula ngaku lepat… Pak. Kula lepat. … Kula nyuwun pangapunten! Duuhh… Gustiiii….!
69. PAK DIRNO : [KAGET MARANG KASUNYATAN] Dadi pranyata bener ta khabar kang tak tampa? Dadi bener omonge Sabar kae! [NYEBUT –NYEBUR SABAR KANTHI SERU] Kowe bener Bar….! Kowe bener… Bar…! Omongmu bisa tak percaya Bar!... Kena apa bojoku sing apus-apus? Kudune aku sing patut tumindak nista, kok bojoku! Kowe..jujur Bar ..! Kowe dadi dalane mbukak wewadi iki! Sabaaaaaar…… bener omongmu! [KAYA WONG KESURUPAN]
70. BU DIRNO: [MINGSEG-MINGSEK NANGIS] Pak, kula pun ngaku lepat! Kula nyuwun pangapunten. Pancen kula nate tindak laku sedheng, kanthi ancas mrih jejeging keluarga. Kula rumaos kejiret lakuning setan. Ning Penjenengan pitados dhateng kula, bilih jiwa raga kula namung kangge keluarga, jiwa raga kula mung mligi kagem Penjenengan lan anak-anak kita Pak. Kula pun kapok, kula mboten badhe mbangsuli lelakon niki Pak…, kula penjenengan paringi pangapunten Pak…, kula…lepat Pak… [NANGIS]
[DUMADAKAN ANAKE KANG ARAN DENOK TEKA SAKA PARAN, KAGET WERUH KEDADEYAN ING NGOMAHE]
71. DENOK :Pak… wonten kedadosan punapa Pak? Ibu… wonten kedadosan punapa?
72 PAK DIRNO: [MUNG MENENG, GETEM-GETEM NYAWANG BU DIRNO, NYAWANG DENOK ORA UWIS-UWIS KOYO WONG ORA WARAS]
73 DENOK: Pak.. Bapak sampun kados mengaten Pak, Bapak… sampun kados mekaten. Kula tresna Bapak…. Kula badhe mbantu Bapak. Wonten kedadosan punapa Pak…?
74 PAK DIRNO: Ibumu… ibumu….wis nyata laku sedheng… Setaaaan!...Setaaaaann!!!
75 DENOK: Masyaallah…. Buuuuu! [NANGIS NGRUNGKET IBUNE] Ibu…. , Ibu…. Kok saget wonten lelampahan mekaten ta, sadhar nggih Bu…., sadhar….nggih?
76 BU DIRNO: Ibu salah Nok! Ibu wenehana pangapura ya Nok? Ibu rumongsa kecemplung ing laku nistha. Ibu pengin nggayuh kamulyaning ndonya Nok. Ibu wis rumongsa luput, luput marang panjangka. Bandha donya sing tak gadhang-gadhang, pranyata dhadekake ibumu dadi wong wengis, gelum nglakoni tumindak dosa kepencut lakune setan edan. Aku wis sadhar, yen bandha donya kuwi ora nggawe mulyaning ati. Atiku sedih… atiku ya rusak..! Aku sadhar..
Aku wenehana pangapura ya Nok?
73 DENOK: Nggih sampun…., sakniki pun cetha. [NYERAKI BAPAKNE] Pak.. sabar nggih Pak! Kula pitados Bapak kiat nglampahi pacoben menika Pak! Kula pitados kanthi lampahan punika ndamel Bapak sansaya tambah wibawa. Kula sakalangkung pitados kasantosanipun Bapak!
74. PAK DIRNO: Terus aku kudu piye? Ibumu sing tansah dadi lambang martabate wanita ing keluarga, wis nyidrani aku! Aku dadi kepala keluarga kang gagal Nok!
75. DENOK: Penjenengan pitados Pak, sak wingkingipun kegagalan, insyaallah badhe pinanggih kesuksesan, sakwingkingi kesedihan, badhe manggih kebingahan. Pitados mawon Pak kaliyan Gusti.
76 PAK DIRNO: Lha.. Bapak terus kudu kepriye Nok?
77 DENOK: Penjenengan kula suwun tetep minangka Bapak wonten keluarga kita Pak! Keluarga kita kedah tetep nyawiji, kangge masa depan kula lan adik-adik kula.
78. PAK DIRNO: Nanging Ibumu wis…..
79 DENOK: Sampun Pak! Punika ingkang dipun wastani takdir, tegesipun lelampahan punika kedah wonten. Menawi Pangeran sampun ngersakaken mekaten, mila kita kedah purun nampi takdiring Gusti. Kita namung sadremi nglampahi. Bapak kula suwun kersa maringi pangapunten Ibu, nggih Pak!
80. BU DIRNO: Nggih.. kula nyuwun pangapunten nggih Pak, kula pun mertobat. Kula salaaah… Pak. Kula pasrah badhe Penjenengan ukum, kula nderek! Panyuwun kula, mugi Penjenengan kersa maringi kesempatan dhateng kula, kangge mertobat lan mboktekaken kejujuran kula Pak. Kula pingin nubus dosa kula Pak! [PAK DIRNO MUNG MENENG, KEMBENG-KEMBENG TANGIS PANALANGSA. PANYAWANGE KATON KOSONG]
81 DENOK: Saben tiyang gesang kedah purun nampi pacobening Pangeran. Pangeran paring ujian dhateng umatipun sampun selaras kalian martabat, pangkat lan drajatipun. Ujian Pangeran ingkang kapapingaken dhateng umatipun warni-warni, sampun dipun jumbuhaken awrat lan enthingipun. Mugi lelampahan punika, dados pemut dhumateng kita.
Ujian saking Gusti saget arupi tsunami, lindhu, banjir bandang, angin lesus, udan barat, sakit lumpuh, ugi wujud punapa kemawon, kados ingkang sampun kita lampahi lan ingkang kita raosaken punika.
Kula nyuwun dhateng Bapak lan Ibu, mangga kanthi prastawa menika, mugi saget nggigah manah kita piyambak-piyambak. Kanthi prastawa menika, mugi ndadosno kita saget sansaya celak lan pitados dhateng panguasaning Gusti.
Mboten wonten ginanipun ngrembag lelampahan ingkang sampun. Sumangga …Bapak enggal paring pangapunten dhumateng Ibu. Semanten ugi Ibu, mugi prastawa punika, ndadosaken kaca brenggala kangge ngadhepi panggesangan kita saklajengipun.
[BAPAK / IBU DIRNO LAN DENOK PADHA SAWANG-SINAWANG, AWEH TENGER YEN UWIS BISA NAMPA LELAKON SING ABOT, SEMONO UGA DENOK TERUS NGGAPRUK MARANG BAPAK LAN IBUNE.]
Tamat
Membayang
Malam membentang
Pelangit penuhi bintang
Anganku melayang membayang
Wanita ayu telanjang di ranjang bayang
Ujung jantungku menyambung gelembung
Menyusur busur di antara rimbun ranummu
Membelah buah dada merekah
Menggoyang roda asmara
Meraba rasa, membelai mahkota,
Hingga menuju puncak Hirosima
Dekat pusar Nagasaki kota tercinta.
(12.7.08)
Pelangit penuhi bintang
Anganku melayang membayang
Wanita ayu telanjang di ranjang bayang
Ujung jantungku menyambung gelembung
Menyusur busur di antara rimbun ranummu
Membelah buah dada merekah
Menggoyang roda asmara
Meraba rasa, membelai mahkota,
Hingga menuju puncak Hirosima
Dekat pusar Nagasaki kota tercinta.
(12.7.08)
Kekuatanmu
Bahwa aku jujur;
yang membuat semakin simpatik,
hingga aku semakin melirik dan membidik
- pikiranmu realis
- omonganmu ngeciwis
- sifatmu egois
- tampilmu estetis
- kesetiaanmu temporis
- humorismu yang tiada habis
- sifatmu (mungkin) non-materialis
- gaya tampilmu melankolis
(11.7.08)
yang membuat semakin simpatik,
hingga aku semakin melirik dan membidik
- pikiranmu realis
- omonganmu ngeciwis
- sifatmu egois
- tampilmu estetis
- kesetiaanmu temporis
- humorismu yang tiada habis
- sifatmu (mungkin) non-materialis
- gaya tampilmu melankolis
(11.7.08)
Katresnanku
Tumiyung nggantung ing mendhung
Tresnaku mentiyung mengkelung
ing pucuking rasa kang agung
Sedyaku mung pingin lumaku
nut jlantraning wektu
Mlebu-metu beteke pingin ketemu
Ragu, wedi gemuyu
datan wani mlaku
Ati iki
mung mligi pingin memuji
Mrih wong ayu
antuk nugraha Kang Mahaagung
Gusti
bakal paring rejeki
Pangeran
kang bakal paring kasembadan
10.7.08
Tresnaku mentiyung mengkelung
ing pucuking rasa kang agung
Sedyaku mung pingin lumaku
nut jlantraning wektu
Mlebu-metu beteke pingin ketemu
Ragu, wedi gemuyu
datan wani mlaku
Ati iki
mung mligi pingin memuji
Mrih wong ayu
antuk nugraha Kang Mahaagung
Gusti
bakal paring rejeki
Pangeran
kang bakal paring kasembadan
10.7.08
Pagi Berseri
Senyum mentari pagi,
Menyimpan pantulan hati
Ingat akan wanita suci
Meniti puji menggantang janji
Ceriaku secercah cantikmu
Bahagyaku sejuta setyamu
Harapanku mengikat kuat menjerat niatmu
Senyumku membayang aroma wangimu
Ketika rasa ada menggoda
Memburu, menderu
Slalu ingin temu wanita ayu
( 9.7.08)
Menyimpan pantulan hati
Ingat akan wanita suci
Meniti puji menggantang janji
Ceriaku secercah cantikmu
Bahagyaku sejuta setyamu
Harapanku mengikat kuat menjerat niatmu
Senyumku membayang aroma wangimu
Ketika rasa ada menggoda
Memburu, menderu
Slalu ingin temu wanita ayu
( 9.7.08)
Pagi Sepi
Pagi ini sepi,
sesepi suara hati
Tanpa hadirmu
Pagi ini mati
semati suara nurani.
Tanpa senyum simpulmu
Nahkoda cintaku tak mau buka bicara
Aku semakin tahu,
Bahwa ternyata kesetiaan itu tidak harus bertemu
Bahwa kesetiaan itu harus dijaga di dalam dada,
Terpatri di dalam hati,
Tak perlu saling menyakiti
(7.7. 08)
sesepi suara hati
Tanpa hadirmu
Pagi ini mati
semati suara nurani.
Tanpa senyum simpulmu
Nahkoda cintaku tak mau buka bicara
Aku semakin tahu,
Bahwa ternyata kesetiaan itu tidak harus bertemu
Bahwa kesetiaan itu harus dijaga di dalam dada,
Terpatri di dalam hati,
Tak perlu saling menyakiti
(7.7. 08)
Minggu pagi
Minggu pagi berseri,
iringkan salam kami,
menjemput pujaan hati
bersanding dalam bayang dan mimpi
Meski hati ini merintih,
meski rasa ini binasa,
Minggu pagi ceria
kujadikan penebus duka,
Ketika waktu telah berlalu,
Muncul menyembul
senyum khasmu dalam kalbu
Tak kan tega kujauh darimu,
namun jika ini terjadi akankah jiwaku
mampu mengendus aroma wangimu
Bahwa jiwa tak akan pisahkan rasa,
Bahwa raga takkan campakkan cinta.
Aku bukan penjajah cinta, tetapi aku
Pengagum dan penjaga setya gapura rasa
Bahwa aku masih percaya
Tuhan maha bijaksana.
22.6.08
iringkan salam kami,
menjemput pujaan hati
bersanding dalam bayang dan mimpi
Meski hati ini merintih,
meski rasa ini binasa,
Minggu pagi ceria
kujadikan penebus duka,
Ketika waktu telah berlalu,
Muncul menyembul
senyum khasmu dalam kalbu
Tak kan tega kujauh darimu,
namun jika ini terjadi akankah jiwaku
mampu mengendus aroma wangimu
Bahwa jiwa tak akan pisahkan rasa,
Bahwa raga takkan campakkan cinta.
Aku bukan penjajah cinta, tetapi aku
Pengagum dan penjaga setya gapura rasa
Bahwa aku masih percaya
Tuhan maha bijaksana.
22.6.08
Renungan
Ketulusan
Hanya dapat dirasakan dengan hati.
Kejujuran bersumber dari naluri
Kepercayaan sebagai taruhan harga diri
Harapan indah jadikan mimpi
Keputusasaan berarti belum punya jati diri
Kesepakatan jangan diingkari…
14. 06. 08
Hanya dapat dirasakan dengan hati.
Kejujuran bersumber dari naluri
Kepercayaan sebagai taruhan harga diri
Harapan indah jadikan mimpi
Keputusasaan berarti belum punya jati diri
Kesepakatan jangan diingkari…
14. 06. 08
Gaung Temanggung
Temanggung agung menggaung
Bunyi sound bertalu-talu
Iringkan lagu
Menggugah gairah indah
untuk menjemput
primadonaku sahaja
Ketika mata membayang wajahmu
Nampak gesit, genit,
gadis cantik energik
Melirik..
Tak kuasa memaksa
Hanya suara jiwa berkata:
“Tuhan… lindungi jiwa kita”
8.6.08
Bunyi sound bertalu-talu
Iringkan lagu
Menggugah gairah indah
untuk menjemput
primadonaku sahaja
Ketika mata membayang wajahmu
Nampak gesit, genit,
gadis cantik energik
Melirik..
Tak kuasa memaksa
Hanya suara jiwa berkata:
“Tuhan… lindungi jiwa kita”
8.6.08
Awal rasa
Bahwa ‘rasa’ itu
mulai ada diawali biasa-biasa saja.
Ketika rasa telah berlangsung
Beberapa lama maka semakin ‘ada makna’
Namun untuk memutuskan rasa,
Harus ditukar denganm derita
Jika sepakat nanti derita itu benar-benar ada
Maka hidupku seperti di ‘neraka’.
Itu fakta kalau kau mau tahu
4.6.08
mulai ada diawali biasa-biasa saja.
Ketika rasa telah berlangsung
Beberapa lama maka semakin ‘ada makna’
Namun untuk memutuskan rasa,
Harus ditukar denganm derita
Jika sepakat nanti derita itu benar-benar ada
Maka hidupku seperti di ‘neraka’.
Itu fakta kalau kau mau tahu
4.6.08
Awal Juni
Siang menjelang
bukakan curahan hati nurani
awal bulan ingat akan
kembang pujaan hati
hari kedua
menggema di bulan Juni
bagaikan kilat cepat melesat
bayangmu muncul di pelupuk mataku
senyum mu manis
menggoda rasa di dada
lirik matamu
melesap di sumsum tulang rusukku
ketika ingin bicara
yang muncul sepatah kata:
“awal bulan ini aku ingin mendaki bukit Cinta
kasih sang penembus hati”
Kau sahaja, maka aku suka,
kau lembut maka aku menyambut
kau pemalu maka aku cinta kamu.
2.6.08
bukakan curahan hati nurani
awal bulan ingat akan
kembang pujaan hati
hari kedua
menggema di bulan Juni
bagaikan kilat cepat melesat
bayangmu muncul di pelupuk mataku
senyum mu manis
menggoda rasa di dada
lirik matamu
melesap di sumsum tulang rusukku
ketika ingin bicara
yang muncul sepatah kata:
“awal bulan ini aku ingin mendaki bukit Cinta
kasih sang penembus hati”
Kau sahaja, maka aku suka,
kau lembut maka aku menyambut
kau pemalu maka aku cinta kamu.
2.6.08
Renungan
Kalau ada cinta
mengapa mesti ada benci
Kebencian hanya dapat menghapuskan
Semua yang kita miliki selama ini
Bahwa kebahagiaan, kenikmatan,
dan kemerdekaan pribadi adalah arti cinta sejati
27.05.08
mengapa mesti ada benci
Kebencian hanya dapat menghapuskan
Semua yang kita miliki selama ini
Bahwa kebahagiaan, kenikmatan,
dan kemerdekaan pribadi adalah arti cinta sejati
27.05.08
Renungan
Tuhan
telah menyalakan obor dalam hati
Yang memancarkan cahaya
Pengetahuan, keindahan, dan cinta kasih
Sungguh berdosa jika setiap manusia
Mendambakan
namun mereka memadamkan
dan mencampakkan dalam abu
20.05.08
telah menyalakan obor dalam hati
Yang memancarkan cahaya
Pengetahuan, keindahan, dan cinta kasih
Sungguh berdosa jika setiap manusia
Mendambakan
namun mereka memadamkan
dan mencampakkan dalam abu
20.05.08
Mati Lampu
Meski lampu mati
Tetap kurajut hati tiada henti.
Meski lampu mati
tetap kuingat si jelita penawar hati
Meski lampu mati
Jiwamu menyatu dalam satu mimpi
Meski lampu mati
Harapan tuk menembus isi hati telah terbukti
29.05.08
Tetap kurajut hati tiada henti.
Meski lampu mati
tetap kuingat si jelita penawar hati
Meski lampu mati
Jiwamu menyatu dalam satu mimpi
Meski lampu mati
Harapan tuk menembus isi hati telah terbukti
29.05.08
Menunggu kejujuran
Kejujuran pintu hatimu kutunggu
Ketulusan relung nafasmu kurindu
Kemesraan kesetiaan jiwamu menjilma
Keindahan etika menjaga jiwa
Ketika purnama tiba
Rasa cita menggoda
Ketika sang bayu merayu
Kalbu ini menunggu swara merdumu
Ketika hati merintih lirih
Ingin kuusap alis matamu tipis
Bahwa jiwa ini selalu menggapai
ingin menembus relung hati suci
(22.5.08)
Ketulusan relung nafasmu kurindu
Kemesraan kesetiaan jiwamu menjilma
Keindahan etika menjaga jiwa
Ketika purnama tiba
Rasa cita menggoda
Ketika sang bayu merayu
Kalbu ini menunggu swara merdumu
Ketika hati merintih lirih
Ingin kuusap alis matamu tipis
Bahwa jiwa ini selalu menggapai
ingin menembus relung hati suci
(22.5.08)
Seabad Kebangkitan Nasioanal
Mementum seabad kebangkitan nasional
Kembangkan semangat mengabdi cinta sejati
Berjuang kembangkan diri
Demi cita dan cinta terhadap
negara, bangsa dan keluarga.
Cinta sama dengan berjuang
Berjuang tak berarti angkat senjata,
bekarya, bekerja, berdarma
berdoa sama saja
Kembangkan persaudaraan
tanpa korbankan martabat dan perasaan
Kendalikan birahi,
kembangkan budi pekerti
dengan saling menyintai
yang dilandasi cinta suci abadi
Bahwa cinta tidak harus bersama kemana-mana
Cinta adalah anugerah Sang Pencipta
Untuk mengabdi negara dan diri sendiri
Yang harus bangkit bersama-sama
(20.5.08)
Kembangkan semangat mengabdi cinta sejati
Berjuang kembangkan diri
Demi cita dan cinta terhadap
negara, bangsa dan keluarga.
Cinta sama dengan berjuang
Berjuang tak berarti angkat senjata,
bekarya, bekerja, berdarma
berdoa sama saja
Kembangkan persaudaraan
tanpa korbankan martabat dan perasaan
Kendalikan birahi,
kembangkan budi pekerti
dengan saling menyintai
yang dilandasi cinta suci abadi
Bahwa cinta tidak harus bersama kemana-mana
Cinta adalah anugerah Sang Pencipta
Untuk mengabdi negara dan diri sendiri
Yang harus bangkit bersama-sama
(20.5.08)
Pahlawan sejati
Mementum seratus tahun Kebangkitan Nasional ini
Tekat kuat terukir dalam jiwa kembali
meski Bumi Pertiwi merintih menangis lirih
harus tetap tegar mandiri
mengukir, mengabdi negeri
saling menghargai
Ketika nahkoda sedang tergoda
ketika negeri sedang diuji
jangan engkau kotori
Waktumu kau habisi untuk demonstrasi caci-maki
negeri ini butuh solusi
negerimu menunggu menanti bakti setiamu
Berjuang bukanlah untuk maju perang
belajar, bekerja, berkarya sama dengan angkat pedang
Pejuang sejati bukan angkat senjata
mengancam dan membinasakan cita-cita
Pejuang sejati tak pernah ingkar janji
Pahlawan bukanlah pegawai negeri berdasi
Pahlawan bukanlah anggota DPR yang korupsi
Pahlawan bukan pemimpin yang menyakiti
mengingkari, obral janji
Pahlawan sejati adalah penyejuk hati
tulus berbakti rela mengabdi
Saman si tukang tambal ban sepeda
Juminten si bakul sayur keliling kota
Sastro petani utun pembajak sawah yang tak pernah lelah
Mijan pengamen murahan di simpang jalan
Adalah pahlawan sejati yang rela mati
untuk mendapatkan sesuap nasi.
(14.5.08)
(Puisi ini pernah diikutsertakan dalam acara lomba baca dan cipta puisi di tingkat Provinsi tanggal 15 Mei 2008)
Tekat kuat terukir dalam jiwa kembali
meski Bumi Pertiwi merintih menangis lirih
harus tetap tegar mandiri
mengukir, mengabdi negeri
saling menghargai
Ketika nahkoda sedang tergoda
ketika negeri sedang diuji
jangan engkau kotori
Waktumu kau habisi untuk demonstrasi caci-maki
negeri ini butuh solusi
negerimu menunggu menanti bakti setiamu
Berjuang bukanlah untuk maju perang
belajar, bekerja, berkarya sama dengan angkat pedang
Pejuang sejati bukan angkat senjata
mengancam dan membinasakan cita-cita
Pejuang sejati tak pernah ingkar janji
Pahlawan bukanlah pegawai negeri berdasi
Pahlawan bukanlah anggota DPR yang korupsi
Pahlawan bukan pemimpin yang menyakiti
mengingkari, obral janji
Pahlawan sejati adalah penyejuk hati
tulus berbakti rela mengabdi
Saman si tukang tambal ban sepeda
Juminten si bakul sayur keliling kota
Sastro petani utun pembajak sawah yang tak pernah lelah
Mijan pengamen murahan di simpang jalan
Adalah pahlawan sejati yang rela mati
untuk mendapatkan sesuap nasi.
(14.5.08)
(Puisi ini pernah diikutsertakan dalam acara lomba baca dan cipta puisi di tingkat Provinsi tanggal 15 Mei 2008)
Satu Rel
Kau siswa, aku guru
Itu aku sudah tahu
Yang jadi beban bagiku
adalah aku
sudah berani mengganggu
memasuki wilayah hati yang suci.
Aku terlanjur hancur
Meluncur, membaur
Jadi satu dalam wadah relung hatimu
Maafkan aku!
Teramat susah untuk pisah
Jika maju pasti mengganggu
Jika mundur hati ini hancur.
Aku mulai menata
Tuk Menuju ke sana.
Kita berdua berjalan
di atas rel kereta yang sama
meski pakai armada yang berbeda
(9.5.08)
Itu aku sudah tahu
Yang jadi beban bagiku
adalah aku
sudah berani mengganggu
memasuki wilayah hati yang suci.
Aku terlanjur hancur
Meluncur, membaur
Jadi satu dalam wadah relung hatimu
Maafkan aku!
Teramat susah untuk pisah
Jika maju pasti mengganggu
Jika mundur hati ini hancur.
Aku mulai menata
Tuk Menuju ke sana.
Kita berdua berjalan
di atas rel kereta yang sama
meski pakai armada yang berbeda
(9.5.08)
Meniti hati
Ketika kalbu merindu
Suara merdumu menggoda selalu
Ketika hati merintih
Senyum kecutmu mengiris perih
Kusetia manjakan dirimu
Agar kau semakin ayu
Kurela kurbankan jiwa
Meski hati ini semakin merana
Namun,
Ketika kusanjung setinggi gunung
Engkau semakin bingung
Bahwa meniti isi hati
Tidak semudah memutar lidah
(8.5.08)
Suara merdumu menggoda selalu
Ketika hati merintih
Senyum kecutmu mengiris perih
Kusetia manjakan dirimu
Agar kau semakin ayu
Kurela kurbankan jiwa
Meski hati ini semakin merana
Namun,
Ketika kusanjung setinggi gunung
Engkau semakin bingung
Bahwa meniti isi hati
Tidak semudah memutar lidah
(8.5.08)
Kesetiaan
Setitik kemenangn
yang disertai ketulusan,
sesetyaan,
kejujuran,
cucuran keringat
serta tetesan air mata
lebih berharga daripada
setumpuk kesenangan
dengan pengurbanan jiwa
tanpa dilandasi nilai rasa
kesetiaan sejati,
bahwa setya sejati
bukan berarti harus memiliki
(2.5.08)
yang disertai ketulusan,
sesetyaan,
kejujuran,
cucuran keringat
serta tetesan air mata
lebih berharga daripada
setumpuk kesenangan
dengan pengurbanan jiwa
tanpa dilandasi nilai rasa
kesetiaan sejati,
bahwa setya sejati
bukan berarti harus memiliki
(2.5.08)
Tiada nyata
Seuntai kata
ingin kuucapkan
sekilas suara jiwa
kuingin alunkan
Kurangkai nada
tak bersuara
Kuucap sapa
senyum ceria
Dalam lubuk aku berkata
“terima kasih”
bahwa kamu masih setya
… tapi tiada nyata
(30.4.08)
ingin kuucapkan
sekilas suara jiwa
kuingin alunkan
Kurangkai nada
tak bersuara
Kuucap sapa
senyum ceria
Dalam lubuk aku berkata
“terima kasih”
bahwa kamu masih setya
… tapi tiada nyata
(30.4.08)
Kabut malam
Bila kabut larut di ujung malam,
Tak kuasa menjerat gerak hati meronta.
Ketika suksma hendak teriak
Menahan gejolak ombak
samudra asmara,
Suara hati selalu membisik
bahwa aku sekarang telah terbuang
Bayang matamu bulat tiada sama
Izinkan kulirik, kutoreh,
kulepas busur
‘tuk menembus dendam kusumat.
Kulilit tipis dipelipis mata.
Kukenang senang sepanjang masa,
Kusayang bayangmu tiada usang
(30.4.08)
Tak kuasa menjerat gerak hati meronta.
Ketika suksma hendak teriak
Menahan gejolak ombak
samudra asmara,
Suara hati selalu membisik
bahwa aku sekarang telah terbuang
Bayang matamu bulat tiada sama
Izinkan kulirik, kutoreh,
kulepas busur
‘tuk menembus dendam kusumat.
Kulilit tipis dipelipis mata.
Kukenang senang sepanjang masa,
Kusayang bayangmu tiada usang
(30.4.08)
Kusanjung
Kau kusanjung setinggi gunung
Kau kupuja tiada tara
Kau kukenang tak akan lekang
Kau apik
Pasti kulirik, kubidik
Kau tertantang
oleh ujung sanjung melintang
Kau teruji
Oleh ucap dan janji setiap hari
Tuhan pasti
Memberkati
(27.4.08)
Kau kupuja tiada tara
Kau kukenang tak akan lekang
Kau apik
Pasti kulirik, kubidik
Kau tertantang
oleh ujung sanjung melintang
Kau teruji
Oleh ucap dan janji setiap hari
Tuhan pasti
Memberkati
(27.4.08)
Rindu
Sayup-sayup terdengar melodi merdu
Menghibur alam nan sahdu
Sepi seorang diri
Membayang melati suci
Kurindu masa lalu
waktu bertemu
Kekasih hati idaman kalbu
Sayang saat ini
Engkau tak dapat mengerti
Bayangmu selalu berkelana
setiap malam hari
menghias mimpi-mimpi
(13. 4.08)
Menghibur alam nan sahdu
Sepi seorang diri
Membayang melati suci
Kurindu masa lalu
waktu bertemu
Kekasih hati idaman kalbu
Sayang saat ini
Engkau tak dapat mengerti
Bayangmu selalu berkelana
setiap malam hari
menghias mimpi-mimpi
(13. 4.08)
Mimpi
Laksana bidadari
Senyummu menawan hati
Kupeluk kasih mesra
Kubelai wajah ayu
Kembang pujaan hati sejati
Kuusap alis matamu
Melengkit berkali
Kuendua aromamu
Wangi bahu melati
Bahagia membara
Mimpi dalam bercinta
Sengsara!
Bagai pudarnya pesona cleopatra,
Menggantang asap
Menyencang bayang,
Mabuk mengisap ganja asmara sejuta
Bahwa semua adalah khayal belaka
Tak berguna!
(13.4.08)
Senyummu menawan hati
Kupeluk kasih mesra
Kubelai wajah ayu
Kembang pujaan hati sejati
Kuusap alis matamu
Melengkit berkali
Kuendua aromamu
Wangi bahu melati
Bahagia membara
Mimpi dalam bercinta
Sengsara!
Bagai pudarnya pesona cleopatra,
Menggantang asap
Menyencang bayang,
Mabuk mengisap ganja asmara sejuta
Bahwa semua adalah khayal belaka
Tak berguna!
(13.4.08)
Melodi Pagi
Kujelang riang datangnya siang
Kusambut lembut pagi berseri
Meniti nasib menganyam diri
Menunggu kucuran embun rotasi waktu
Ketika semangat menyengat kuat
Menggantang datangnya bayang
Harapan ceria masa depan
Kobarkan janji tiada henti
Kibarkan panji harapan pasti
Masa depan harus lebih baik
daripada hari ini
(5.4.08)
Kusambut lembut pagi berseri
Meniti nasib menganyam diri
Menunggu kucuran embun rotasi waktu
Ketika semangat menyengat kuat
Menggantang datangnya bayang
Harapan ceria masa depan
Kobarkan janji tiada henti
Kibarkan panji harapan pasti
Masa depan harus lebih baik
daripada hari ini
(5.4.08)
Bayang Flamboyan
Kembalikan rasaku dari ujung hatimu
Tuangkan setetes senyum cintamu padaku
Lemparkan lembut smangat hidup
Kusambut lembut degup doamu
Kutunggu datangnya ombak samodra rasa
Kugapai tirai jendela cinta
Kuroreh terus, tuntaskan tetesan kesan
Kuhadang bayang kembang flanboyan
(3.4.08)
Tuangkan setetes senyum cintamu padaku
Lemparkan lembut smangat hidup
Kusambut lembut degup doamu
Kutunggu datangnya ombak samodra rasa
Kugapai tirai jendela cinta
Kuroreh terus, tuntaskan tetesan kesan
Kuhadang bayang kembang flanboyan
(3.4.08)
Ulang tahun
Genap 17 tahun jelang remajamu
Kujemput lembut ultahmu
Bila bulan tampilmu semakin menawan,
Bila mentari engkau semakin menyinari
Ultahmu sebagai ajang instruspeksi
Ultahmu jadikan sebagai wahana tuk mawas diri
Ultahmu jadikan awal mandiri sejati
Ultahmu … jangan engkau kotori
Happy birthday,
congratulations to you
Tampilmu semakin ayu
I love you
jadikan kenangan hidupmu
Jangan kau terlalu riang sekarang,
Bahwa umurmu telah berkurang.
Jangan kau terlalu bahagia
Ucapkan doa kepada Tuhan yang Esa.
Ultah salah bila untuk berlatah!
Ultah kan smakin indah bila kau rajin ibadah
Selamat ultah kasihku,
Selamat bahagia for you!
Semangatmu sebagai inspirasiku,
Kuantar dewasamu,
Kau jadi semakin tahu
( 1.4.08)
Kujemput lembut ultahmu
Bila bulan tampilmu semakin menawan,
Bila mentari engkau semakin menyinari
Ultahmu sebagai ajang instruspeksi
Ultahmu jadikan sebagai wahana tuk mawas diri
Ultahmu jadikan awal mandiri sejati
Ultahmu … jangan engkau kotori
Happy birthday,
congratulations to you
Tampilmu semakin ayu
I love you
jadikan kenangan hidupmu
Jangan kau terlalu riang sekarang,
Bahwa umurmu telah berkurang.
Jangan kau terlalu bahagia
Ucapkan doa kepada Tuhan yang Esa.
Ultah salah bila untuk berlatah!
Ultah kan smakin indah bila kau rajin ibadah
Selamat ultah kasihku,
Selamat bahagia for you!
Semangatmu sebagai inspirasiku,
Kuantar dewasamu,
Kau jadi semakin tahu
( 1.4.08)
Terasa
Penghujung bulan ketiga
Detak denyut jantung menggoda
Sangat terasa
Detak jarum jam dinding jalan biasa
Menuntun jiwa merenggang nyawa
Ingat akan bayang fatamorgana
Membagi rasa menjala
Bahagia
Memuja dara
cinta membara
Hingga akhir bulan tiada merasa
Awal bulan demikian njuga
Terbelenggu ragu
Mengikut kabut lembut
Memeluk rindu wanita ayu.
Mengendus tembus
Meraba hingga pusar langit asmara
(31.3.08)
Detak denyut jantung menggoda
Sangat terasa
Detak jarum jam dinding jalan biasa
Menuntun jiwa merenggang nyawa
Ingat akan bayang fatamorgana
Membagi rasa menjala
Bahagia
Memuja dara
cinta membara
Hingga akhir bulan tiada merasa
Awal bulan demikian njuga
Terbelenggu ragu
Mengikut kabut lembut
Memeluk rindu wanita ayu.
Mengendus tembus
Meraba hingga pusar langit asmara
(31.3.08)
Menunggu
Ketika aku mencoba
membaca mata aura.
Ketika aku mengerti
hatimu sejati
rasa menoreh kalbu,
mata berkaca ingat kamu
ketika kau tulis empat baris puisi
getar hati ini menjadi saksi
seraya menunggu si jelita seksi
apa gerangan isi hati sejati
membaca mata aura.
Ketika aku mengerti
hatimu sejati
rasa menoreh kalbu,
mata berkaca ingat kamu
ketika kau tulis empat baris puisi
getar hati ini menjadi saksi
seraya menunggu si jelita seksi
apa gerangan isi hati sejati
Menunggu
Senyum ceriamu aku tunggu,
Sapa lembutmu aku perlu
Lengkit matamu jadi penentu
Gelak tawamu meramu smakin sahdu
Betapa lama tak jumpa
Membuat hati gundah gulana
Berapa hari kau tak ngerti,
Luka deritaku semakin jadi
‘Tuk dapat menembus rasa
Asah pikir ulurkan kata
‘Tuk mengembang cinta
Jangan asal pinter bicara
(26.3.08)
Sapa lembutmu aku perlu
Lengkit matamu jadi penentu
Gelak tawamu meramu smakin sahdu
Betapa lama tak jumpa
Membuat hati gundah gulana
Berapa hari kau tak ngerti,
Luka deritaku semakin jadi
‘Tuk dapat menembus rasa
Asah pikir ulurkan kata
‘Tuk mengembang cinta
Jangan asal pinter bicara
(26.3.08)
Malam Sepi
Penghujung malam sepi begini.
Ingatkan pada Sang Kholiq
tuk mengabdi diri
penghubung malam indah terisi
hiasi pinta isak dan tangis menjadi,
ketika malam semakin dingin
hati ini semakin sepi
Aroma wangi-MU
Ya Allah, tambatkan diri
Untuk sujud, simpuhkan menyerah diri,
Berzikir,
ihtifar,
takbir,
tahmit,
tahlil
Mohon Illahi Robbi tegakkan aku tuk lakukan
Sholad malam ini
(21.3.08)
Ingatkan pada Sang Kholiq
tuk mengabdi diri
penghubung malam indah terisi
hiasi pinta isak dan tangis menjadi,
ketika malam semakin dingin
hati ini semakin sepi
Aroma wangi-MU
Ya Allah, tambatkan diri
Untuk sujud, simpuhkan menyerah diri,
Berzikir,
ihtifar,
takbir,
tahmit,
tahlil
Mohon Illahi Robbi tegakkan aku tuk lakukan
Sholad malam ini
(21.3.08)
Senyum rembulan
Senyum rembulan tertutup awan
Sinarmu pucat pasi
Menghias ruas hati
Petang semakin kelam
Bilakah purnama datang nanti?
Sinar emasmu redakan hati pilu
Tawa renyahmu lepaskan sendu
Sorot matamu luluhkan kalbu membeku
Ketika hati ingin menyatu
Tekat merapat bulat
Mengikat niat jahat
Ternyata senyummu
Tak aku dapat
Sekarang kalbu
semakin menyesak rindu
menunggu senyum di kulum
bidadariku
so, keep u smile please!
(20.3.08)
Sinarmu pucat pasi
Menghias ruas hati
Petang semakin kelam
Bilakah purnama datang nanti?
Sinar emasmu redakan hati pilu
Tawa renyahmu lepaskan sendu
Sorot matamu luluhkan kalbu membeku
Ketika hati ingin menyatu
Tekat merapat bulat
Mengikat niat jahat
Ternyata senyummu
Tak aku dapat
Sekarang kalbu
semakin menyesak rindu
menunggu senyum di kulum
bidadariku
so, keep u smile please!
(20.3.08)
Rembulan
Rembulanku mulai lemparkan senyum
Meski hati ini sepi
Bayangmu tampakkan senyum dikulum
Meski hati ini membisik lirih
Bahagiamu bukakan simpul-simpul kasih.
Jemarimu genggamkan tekat menyatu
Hasyaratku menderu
Ingin bertemu
Namun nyata bahwa rembulanku
kini selalu menutup diri
Engkau
tak pernah dapat mengerti
(18.3.08)
Meski hati ini sepi
Bayangmu tampakkan senyum dikulum
Meski hati ini membisik lirih
Bahagiamu bukakan simpul-simpul kasih.
Jemarimu genggamkan tekat menyatu
Hasyaratku menderu
Ingin bertemu
Namun nyata bahwa rembulanku
kini selalu menutup diri
Engkau
tak pernah dapat mengerti
(18.3.08)
Menanti Mentari
Mentariku
kini sembunyi di balik awan kelabu
Setumpuk biduk segudang alasan
untuk tak bertepuk.
Keyakinanku sedang meradang
Menghadang garang
Kemarahanku seakan tak beralaskan
Sementara hatimu tak mampu merasakan
Kini jiwaku luluh lumpuh, rapuh.
Ampak-ampak kelam hitam
menutup Kalbuku setiap waktu
Isak tangis bengis mengiris tak kau gubris…!
Menutupi relung-relung hati suci
Menghadang aroma kembang
Mengenang kembang pilihan
Memuja rasa tiada tara
Mengundang bayang gadis pujaan
Namun mentariku
kini tak mengerti
arti
(15.3. 08)
kini sembunyi di balik awan kelabu
Setumpuk biduk segudang alasan
untuk tak bertepuk.
Keyakinanku sedang meradang
Menghadang garang
Kemarahanku seakan tak beralaskan
Sementara hatimu tak mampu merasakan
Kini jiwaku luluh lumpuh, rapuh.
Ampak-ampak kelam hitam
menutup Kalbuku setiap waktu
Isak tangis bengis mengiris tak kau gubris…!
Menutupi relung-relung hati suci
Menghadang aroma kembang
Mengenang kembang pilihan
Memuja rasa tiada tara
Mengundang bayang gadis pujaan
Namun mentariku
kini tak mengerti
arti
(15.3. 08)
Membayang Sayang
Malam kelam membungkam kejam
Gelap lelap mengkilap tiada harap
Kerdip kerlip sejuta kunang mengawang
Menghadang bayang gadis pujaan
Meniti buih kerinduan
Mengalun ombak kebahagiaan
Menjala rasa samudera cinta
Membungkam gejolak
memuja dara
Merayu bayang seribu kembang
Membidik perawan cantik jelita
Menggantang bayang
menyencang kembang desa
Putik Mawar setya membawa warna
Memilih memuja perawan desa
Mengibar senyum geliat asmara
(11 . 3. 08 )
Gelap lelap mengkilap tiada harap
Kerdip kerlip sejuta kunang mengawang
Menghadang bayang gadis pujaan
Meniti buih kerinduan
Mengalun ombak kebahagiaan
Menjala rasa samudera cinta
Membungkam gejolak
memuja dara
Merayu bayang seribu kembang
Membidik perawan cantik jelita
Menggantang bayang
menyencang kembang desa
Putik Mawar setya membawa warna
Memilih memuja perawan desa
Mengibar senyum geliat asmara
(11 . 3. 08 )
Suara Kalbu
Apabila rasa menyeru
Ikuti suara kalbu
jalan terjal mengganjal
berliku kaku berdebu
Apabila sayap-sayap siap merayap gelap
Apabila kalbu hendak menyembul merangkul
Aku setia curahkan puja untukmu
Meski pedang rintang menghadang
tajam seram terasa menggeram
Napasku tak akan lupa menyuka memuja
Sembari menanti datangnya
Suara hati sejati
(9 Maret ‘08)
Ikuti suara kalbu
jalan terjal mengganjal
berliku kaku berdebu
Apabila sayap-sayap siap merayap gelap
Apabila kalbu hendak menyembul merangkul
Aku setia curahkan puja untukmu
Meski pedang rintang menghadang
tajam seram terasa menggeram
Napasku tak akan lupa menyuka memuja
Sembari menanti datangnya
Suara hati sejati
(9 Maret ‘08)
Nyanyian Malam
Nyanyian malam makin pelan,
Malam smakin kelam kelopak mata tertutup perlahan,
Angin enggan membisik kesan,
Menjemput lembut impikan datangnya perawan
Hati dingin jadi tak terasa
menggalang bayang impian si cantik pujaan
mandikan keringat
menebar semangat hangat.
Hati ini mengusik membisik
Slamat mengarungi seribu mimpi
sampai esok pagi
(4.3.08)
Malam smakin kelam kelopak mata tertutup perlahan,
Angin enggan membisik kesan,
Menjemput lembut impikan datangnya perawan
Hati dingin jadi tak terasa
menggalang bayang impian si cantik pujaan
mandikan keringat
menebar semangat hangat.
Hati ini mengusik membisik
Slamat mengarungi seribu mimpi
sampai esok pagi
(4.3.08)
Awal Februari
Awal Februari
detak jantungku berhias
jadi saksi diri
Menumpuk sebungkah rasa menggila
Menusuk menembus ulu suksma
Seribu duka
Menahan nafas lepas
mengiring tangis
mengiris hati bengis
seluruh sendi penahan badan
mengelupas panas terasa lepas
duka menumpuk
seluruh luluh
Kujemput lembut doamu lirih
Ku tetap harap semangat kasih
Melepas lelah meringankan perih
(1 Februari ‘08)
detak jantungku berhias
jadi saksi diri
Menumpuk sebungkah rasa menggila
Menusuk menembus ulu suksma
Seribu duka
Menahan nafas lepas
mengiring tangis
mengiris hati bengis
seluruh sendi penahan badan
mengelupas panas terasa lepas
duka menumpuk
seluruh luluh
Kujemput lembut doamu lirih
Ku tetap harap semangat kasih
Melepas lelah meringankan perih
(1 Februari ‘08)
Menanti
Meski tiada jumpa
Aku dapat merasa
Meski tak bertemu
Aku jadi semakin tahu
Ketika ombak hati membelah diri
Menabur harapan suci
Menembus kenangan adi
Asah hatimu untuk maju!
Tempalah rasa untuk dewasa!
Sambut lembut tanpa cemberut
Merdeka tiada memaksa
Harapku setiap waktu
(30 jan ‘08)
Aku dapat merasa
Meski tak bertemu
Aku jadi semakin tahu
Ketika ombak hati membelah diri
Menabur harapan suci
Menembus kenangan adi
Asah hatimu untuk maju!
Tempalah rasa untuk dewasa!
Sambut lembut tanpa cemberut
Merdeka tiada memaksa
Harapku setiap waktu
(30 jan ‘08)
Mentari sembunyi
Mentari sembunyi di balik awan kelabu
Kelam hitam tutup kalbuku setiap waktu
Rintihan tangis
bengis mengiris
Menutup relung hati jadi sepi
Menghadang bayang
mengenang kembang
memuja rasa tiada tara
Mengundang kenangan
tiada hilang
(30 jan ‘08)
Kelam hitam tutup kalbuku setiap waktu
Rintihan tangis
bengis mengiris
Menutup relung hati jadi sepi
Menghadang bayang
mengenang kembang
memuja rasa tiada tara
Mengundang kenangan
tiada hilang
(30 jan ‘08)
Menunggu
Menunggu ternyata derita
berjumpa perlu masa
Mata berkaca
kerinduan menggoda
Tiada tercaya
menggores luka lama
Walau sudah menjumpa
gumpalan rindu semakin beku
Pingin menatap setiap saat
Ingin menjamu setiap waktu
(20 jan ‘08)
berjumpa perlu masa
Mata berkaca
kerinduan menggoda
Tiada tercaya
menggores luka lama
Walau sudah menjumpa
gumpalan rindu semakin beku
Pingin menatap setiap saat
Ingin menjamu setiap waktu
(20 jan ‘08)
Kecewa
Ketika mata terbuka
membentang cakrawala
Ketika hati terluka
membara berujung derita
Ketika harapan sirna
menggores tangis kenang sejuta
Ketika hasrat melirik
meronta hendak jumpa
Ternyata tempat dan waktumu
berselimutkan duka
Bahwa ketika kau siap mengungkap jumpa
adalah patamurgana belaka
Kau tetap tutup mata telinga
Bawakan setumpuk kecewa
sekeranjang siksa
segudang lara
aku merasa
(18 Jan ‘08)
membentang cakrawala
Ketika hati terluka
membara berujung derita
Ketika harapan sirna
menggores tangis kenang sejuta
Ketika hasrat melirik
meronta hendak jumpa
Ternyata tempat dan waktumu
berselimutkan duka
Bahwa ketika kau siap mengungkap jumpa
adalah patamurgana belaka
Kau tetap tutup mata telinga
Bawakan setumpuk kecewa
sekeranjang siksa
segudang lara
aku merasa
(18 Jan ‘08)
Dewi malam
Senyum dewi malamku
menghias bumi
Iringkan bayangmu
merenda diri
Tegakkan hatimu
untuk menyimpan janji
Kenangkan diriku
meski tak akan terjadi
Menggantang harap
memeluk ilusi
Mengenang bayang
dindaku seorang diri
(17 Jan ‘08)
menghias bumi
Iringkan bayangmu
merenda diri
Tegakkan hatimu
untuk menyimpan janji
Kenangkan diriku
meski tak akan terjadi
Menggantang harap
memeluk ilusi
Mengenang bayang
dindaku seorang diri
(17 Jan ‘08)
Kalbu Rindu
Kalbu rindu terhempas kaku,
Sepi meniti tepi hati
Membentang bayang gadis pujaan
Larut dikulum ruang rindu
Merdu suaramu
Lepaskan syahdu
Mata berkaca embun bahagia
Ingat akan bayang cinta
(30 N0v ‘07)
Sepi meniti tepi hati
Membentang bayang gadis pujaan
Larut dikulum ruang rindu
Merdu suaramu
Lepaskan syahdu
Mata berkaca embun bahagia
Ingat akan bayang cinta
(30 N0v ‘07)
Praba Wiyatatama
Warga Praba wiyata tama
SMA Negeri Cawas Nyata
Bertekat mengikis kebodohan
Menyongsong masa depan
Kobarkan Akhlaq luhur dan mulia
Berbudilah bijaksana
Santun di dalam budayaku
Unggul mutu slalu menyatu.
Ayo satukan langkahmu
Kembangkan darma baktimu
Kami pasti mampu cipta insan
Berguna berkat lindungan-Mu
( Juli 2001)
SMA Negeri Cawas Nyata
Bertekat mengikis kebodohan
Menyongsong masa depan
Kobarkan Akhlaq luhur dan mulia
Berbudilah bijaksana
Santun di dalam budayaku
Unggul mutu slalu menyatu.
Ayo satukan langkahmu
Kembangkan darma baktimu
Kami pasti mampu cipta insan
Berguna berkat lindungan-Mu
( Juli 2001)
Ambal Warsa Pawiyatanku
Angin mangsa ketiga, aweh pemut marang sagung warga Praba wiyata tama
ngosak-asik urut reroncene jantra laku pandadaraning dwija mring siswa
grapyak, sigrak, semarak beteke pingin miyak tumapaking ambal warsa
pawiyatan madya ing Cawas, Klaten kene
sing wis katon cumlorot gemebyar cahyane,
arum mangambar-ambar gandane.
Pitu likur tahun yuswa dewasa, wis bisa ngatonake gagah cakrak pideksa
lamun wanita, esemmu nyata bisa nyundhul langiting pangrasa
kuncuping kembang pawiyatan tan kendhat nyawang ing awang-awang,
mrih bisa tumandang numpang menang ing samubarang
Kabeh gumregah ora wegah, ora ulat wayah
Kabeh guru padha kemebul ngudhal ngilmu kawasisan lan kanuragan
Sengkut bikut katut tetese luh pangurbanan
murih tekane kasembadan lan kasunyatan.
Ambal warsa iki, dadiya pralampita
murih laras, lirih lan leres, ancas kang sinedya
bisa pinter, bener, lan pener kang tanpa mlumpat saka wewaler
jumbuh karo akal budi lan prasetya guru sejati,
kasdu ngangkat drajat martabat utama
ngudhal pawitan kapinteran, kaprigelan, kawicaksanan mayuta-yuta
Yen langit tan saya klawu,
yen suwasana sarwa kleru, jroning ati pingin udhu panemu:
Papan pawiyatan kang wus moncer iki, oja gampang kablithuk manthuk
marang kahanan kang wis ora gathuk.
Pawiyatan iki mung mligi kanggo ngudhal lan ngudi pakarti aji suci
dudu papane kanggo ngobral janji.
Muga warga Praba wiyata tama tansaha manembah mring Hyang Sukma
Nyawiji panyuwuning tyas
Gusti ngijabahi
Anggitane: Medi Widada
Cawas, 19 Juli 2007
ngosak-asik urut reroncene jantra laku pandadaraning dwija mring siswa
grapyak, sigrak, semarak beteke pingin miyak tumapaking ambal warsa
pawiyatan madya ing Cawas, Klaten kene
sing wis katon cumlorot gemebyar cahyane,
arum mangambar-ambar gandane.
Pitu likur tahun yuswa dewasa, wis bisa ngatonake gagah cakrak pideksa
lamun wanita, esemmu nyata bisa nyundhul langiting pangrasa
kuncuping kembang pawiyatan tan kendhat nyawang ing awang-awang,
mrih bisa tumandang numpang menang ing samubarang
Kabeh gumregah ora wegah, ora ulat wayah
Kabeh guru padha kemebul ngudhal ngilmu kawasisan lan kanuragan
Sengkut bikut katut tetese luh pangurbanan
murih tekane kasembadan lan kasunyatan.
Ambal warsa iki, dadiya pralampita
murih laras, lirih lan leres, ancas kang sinedya
bisa pinter, bener, lan pener kang tanpa mlumpat saka wewaler
jumbuh karo akal budi lan prasetya guru sejati,
kasdu ngangkat drajat martabat utama
ngudhal pawitan kapinteran, kaprigelan, kawicaksanan mayuta-yuta
Yen langit tan saya klawu,
yen suwasana sarwa kleru, jroning ati pingin udhu panemu:
Papan pawiyatan kang wus moncer iki, oja gampang kablithuk manthuk
marang kahanan kang wis ora gathuk.
Pawiyatan iki mung mligi kanggo ngudhal lan ngudi pakarti aji suci
dudu papane kanggo ngobral janji.
Muga warga Praba wiyata tama tansaha manembah mring Hyang Sukma
Nyawiji panyuwuning tyas
Gusti ngijabahi
Anggitane: Medi Widada
Cawas, 19 Juli 2007
Dewa Penolong
Prolog:
Wiwik dan Tutut adalah dua gadis yang malang. Kedua orang itu hamil sebelum perkawinan. Kejadian itu, dapat diketahui setelah dua bulan, mereka rekreasi dari Tawangmangu. Namun Wiwik lebih beruntung dari pada Tutut, Sebab Budi sedia bertanggung jawab, bahkan sudah dikawininya secara resmi. Bagaimana keadaan Tutut sekarang? Tomy tidak mau mengawini secara resmi. Padahal fakta membuktikan bahwa Tomy dan Tutut sama-sama melakukan gituan
Musibah telah terjadi. Tutut memerlukan dewa penolong, Siapa dewa penolong itu? Di sini tidak lain adalah Totok. Kenapa Totok dengan ringan tangan bersedia menuntaskan masalah? Silakan ikuti dialog-dialog berikut ini!
Wiwik :Bagaimana Tut, Tomymu? Apa dia sudah datang dari Jakarta?
Tutut :Datang sih sudah! Tapi dasar lelaki. Bosan aku berurusan dengan dia. Lagi orang tuanya yang bawel itu malah menyalahkan aku!
Wiwik :Lho! Emangnya yang salah itu siapa?
Tutut : Ya, jelas dia dong. Kalau aku nggak dikasih itu, kan enggak begini jadinya.
Wiwik :Kalau kamu nggak mau diajak itu, pasti nggak begitu!
Tutut :Kau juga menyalahkan aku?
Wiwik : (Tersenyum)
Tutut :Kau juga menyalahkan aku?(lebih keras dialognya, karena Tutut sedikit marah kepada Wiwik).
Wiwik :Tomy memang begitu! Dia sulit untuk bisa dipercaya. Dan kau tahu, apa yang menyebabkan dia berani menolakmu, dan menyalahkanmu?
Tutut :Tidak. (Suara Tutut lemah).
Wiwik : Karena kekayaannya itulah! Dan kau mengejar kekayaannya itu bukan?
Tutut :Aku sama sekali tidak mengejar kekayaannya.
Wiwik :Ketampannanya?
Tutut : (Mengangguk)
Wiwik : Sama saja,
Tutut :Ya, beda! Terus terang saja, Wik, kau membela Tomy.
Wiwik : Jangan putus asa! Saya dan Mas Budi sedang mengusahakan!
Tutut :Pertemuanku dengan Tomy?
Wiwik : Ya!
Tutut :Dan kemudian akan menjatuhkan namaku, seperti ketika kalian pertemukan di Tawangmangu itu?
Wiwik :Jelas beda dong! Aku juga mengakui kejadian itu. Aku juga merasa bersalah. Mas Budi juga merasa bersalah. Hingga beginilah aku bisa hidup sebagai suami-istri.
Tutut :Tapi aku? Apakah aku hanya hidup ke dalam ketidak tentuan belaka?
Wiwik :Aku dan Mas Budi sedang berusaha mengambil jalan tengah!
Tutut :Di mana Mas Budi sekarang?
(Wiwik belum sampai menjawab, Budi telah masuk bersama Totok, mereka saling bersalaman)
Budi :Sukses! Eh, hendaknya ditulis dengan huruf besar SUKSES!
(Wiwik dan Tutut bengong tak mengerti, Totok sedikit senyum)
Wiwik :Apa sih Mas?
Tutut :Apa?
(Budi masih tertawa lebar, sedang Tutut dan Wiwik saling pandang tak mengerti)
Budi : Kalian pasti tak mengerti. (Sambil menunjuk Wiwik dan Tutut) Kali ini kita sama mengharapkan, dari dewa penolong kita, semoga ia berhasil dalam perannya. Apakah kalian sudah mengetahui siapa dewa penolong kita itu?
(Wiwik dan Tutut hampir bersamaan menggelengkan kepala)
Budi :Baik, inilah dia orangnya (sambil menunjuk Totok)
Wik+Tut : Totok?
Budi : Tepat! Okey, Tok, gantian engkau yang bicara!
Totok :Bicara apa Bud?
Budi :Terserah asal bicara. Asal ada kaitannya dengan apa yang kita bicarakan tadi.
Totok :Soal Tomy?
Budi : Apalagi kalau bukan?
Totok :Baik terima kasih! Wiwik dan Tutut kan sudah lama kenal dengan ku?
Tutut :Ya, siapa yang tidak kenal dengan Totok. Di sekolah kita itu, mereka semua kenal. Karena kenakalanmu, sampai engkau dikors berkali-kali.
Tutut : Aku masih ingat, setiap pagi harus pajak uang padamu Rp 1000,-
Totok : ( tertawa) Itu, kan dulu, sekarang lain lho Tik!
Tutut : Sekarang lima ribu?
Totok :Bukan begitu! Aku sekarang sadar. Tak mau lagi aku berkelai, kalau tidak terpaksa sekali.
Budi :Sudah! Sudah! Sekarang kita bicara yang sekarang! Bukan yang dahulu. Okey?
Tutut :( Memandang tajam pada Totok)
Wiwik : Sekarang kita mau bicara apa sih?
Budi : Membicarakan keadaan Tutut.
Tutut : Membicarakan aku?
Budi :Aku tahu keadaanmu, Tutut, aku sebetulnya menyesalkan tindakkan Tomy yang tidak bertanggung jawab itu.
Tutut :Aku akan dikawinkan dengan Totok?
Totok :Tidak! Aku tidak berani.
(Hening sejenak, mereka saling berpandangan)
Budi :Ayoo… kita mulai bicara lagi. Tapi ingat jangan tegang-tegangan.
Totok :Begini Tut, aku akan menolongmu. Aku pernah berhutang budi padamu. Aku merasa berdosa saat itu, meminta uang dengan paksa, sampai beberapa kali.
( Totok diam sejenak)
Totok : Pagi tadi Budi bercerita padaku tentang keadaanmu. Sebenarnya aku menyesalkan tindakkan Tomy itu. Kenapa dia melakuklan tindakan begitu kepadamu? Kupikir terlalu nekad. Nah, kuharap kau mengerti Tutut!
Tutut :Kau akan menolongku?
Totok :Ya!
Tutut :Dengan cara bagaimana kau akan menolongku?
Totok :Menyeret Tomy ke hadapan Tutut.
Tutut :Hah?! (Agak terkejut)
Totok :Tomy harus bersumpah dihadapan Tutut, bahwa dia harus bersedia mengawini Tutut dengan segera!
Tutut :Bisakah begitu?
Totok :Itulah Totok, yang dulu nakal dan bejad, kini akan memulai dengan kebaikan.
Tutut : Toook…!(menubruk Totok sambil menangis)
Wiwik :Sudahlah, Tut, kita tunggu saja. (kepada Totok) Kapan Tok, kau akan muai mencarinya?
Totok :Sekarang dia di rumahku, Okey, sebentar aku pergi menjemput Tomy!
(Totok pergi ke luar meninggalkan mereka)
Wiwik :Mas, Budi, dapatkah kau percaya ucapan Totok tadi?
Budi :Aku percaya sekarang! Dulu ketika sama-sama satu kelas banyak yang curiga kepadanya. Padahal ya dia memang betul-betul terdesak .
Tutut : Terdesak? Terdesak apanya?
Budi : Dia itu, orang tuanya miskin.Terdesak ekonominya.
Tutut : Sekarang kok bisa kaya? Pakai mobil? Pakaiannya necis?
Budi :Dia dulunya bekerja sebagai penjaga toko. Ketika toko itu kena rampok, dialah yang bisa menyelamatkannya.
Wiwik :Totok?
Tutut :Hingga tak terjadi lagi perampokan?
Budi : Ya, dialah yang menyelamatkan. Hingga akhirnya pemilik toko mengambil Totok sebagai menantu.
Tutut :Jadi dia sudah kawin?
Budi :Malah dia sudah punya anak!
Tutut :Aku akan minta maaf kepadanya nanti……… (ucapannya itu tidak jadi dilanjutkan karena tiba-tia pintu terbuka).
Totok : Tom, kau jangan mencoba lari dari kenyataan ini.
Tomy : Aku tidak diperkenankan oleh orang tuaku!
Totok :Itu bukan alasan yang kuat, untuk menolak!
Tomy :Kalau aku melepas orang tuaku, aku kan belum bekerja?
Totok : Lihat Budi, apakah dia sudah bekerja? Toh dia juga mengawini Wiwik.
(Pelan-pelan Tomy memandangi Tutut, pertama yang dilihat adalah perutnya yang tampak sedikit buncit. Lalu dengan pelan-pelan pula Tomy melangkah ke arah Tutut kemudian berjabat tangan)
Tomy :Tutut, aku berjanji dalam waktu dekat ini aku akan segera menikahimu.
Tutut :Terima kasih.
Totok :Tomy, kalau cuma janji kosong yang kau berikan pada Tutut, jangan harap kau bisa hidup tenang!
(Tomy tak berani memandang Totok yang memuncak kemarahannya)
Budi :Terima kasih usahamu Tok!
Totok : (mengangguk) Sama-sama!
(Layar ditutup perlahan-lahan)
Wiwik dan Tutut adalah dua gadis yang malang. Kedua orang itu hamil sebelum perkawinan. Kejadian itu, dapat diketahui setelah dua bulan, mereka rekreasi dari Tawangmangu. Namun Wiwik lebih beruntung dari pada Tutut, Sebab Budi sedia bertanggung jawab, bahkan sudah dikawininya secara resmi. Bagaimana keadaan Tutut sekarang? Tomy tidak mau mengawini secara resmi. Padahal fakta membuktikan bahwa Tomy dan Tutut sama-sama melakukan gituan
Musibah telah terjadi. Tutut memerlukan dewa penolong, Siapa dewa penolong itu? Di sini tidak lain adalah Totok. Kenapa Totok dengan ringan tangan bersedia menuntaskan masalah? Silakan ikuti dialog-dialog berikut ini!
Wiwik :Bagaimana Tut, Tomymu? Apa dia sudah datang dari Jakarta?
Tutut :Datang sih sudah! Tapi dasar lelaki. Bosan aku berurusan dengan dia. Lagi orang tuanya yang bawel itu malah menyalahkan aku!
Wiwik :Lho! Emangnya yang salah itu siapa?
Tutut : Ya, jelas dia dong. Kalau aku nggak dikasih itu, kan enggak begini jadinya.
Wiwik :Kalau kamu nggak mau diajak itu, pasti nggak begitu!
Tutut :Kau juga menyalahkan aku?
Wiwik : (Tersenyum)
Tutut :Kau juga menyalahkan aku?(lebih keras dialognya, karena Tutut sedikit marah kepada Wiwik).
Wiwik :Tomy memang begitu! Dia sulit untuk bisa dipercaya. Dan kau tahu, apa yang menyebabkan dia berani menolakmu, dan menyalahkanmu?
Tutut :Tidak. (Suara Tutut lemah).
Wiwik : Karena kekayaannya itulah! Dan kau mengejar kekayaannya itu bukan?
Tutut :Aku sama sekali tidak mengejar kekayaannya.
Wiwik :Ketampannanya?
Tutut : (Mengangguk)
Wiwik : Sama saja,
Tutut :Ya, beda! Terus terang saja, Wik, kau membela Tomy.
Wiwik : Jangan putus asa! Saya dan Mas Budi sedang mengusahakan!
Tutut :Pertemuanku dengan Tomy?
Wiwik : Ya!
Tutut :Dan kemudian akan menjatuhkan namaku, seperti ketika kalian pertemukan di Tawangmangu itu?
Wiwik :Jelas beda dong! Aku juga mengakui kejadian itu. Aku juga merasa bersalah. Mas Budi juga merasa bersalah. Hingga beginilah aku bisa hidup sebagai suami-istri.
Tutut :Tapi aku? Apakah aku hanya hidup ke dalam ketidak tentuan belaka?
Wiwik :Aku dan Mas Budi sedang berusaha mengambil jalan tengah!
Tutut :Di mana Mas Budi sekarang?
(Wiwik belum sampai menjawab, Budi telah masuk bersama Totok, mereka saling bersalaman)
Budi :Sukses! Eh, hendaknya ditulis dengan huruf besar SUKSES!
(Wiwik dan Tutut bengong tak mengerti, Totok sedikit senyum)
Wiwik :Apa sih Mas?
Tutut :Apa?
(Budi masih tertawa lebar, sedang Tutut dan Wiwik saling pandang tak mengerti)
Budi : Kalian pasti tak mengerti. (Sambil menunjuk Wiwik dan Tutut) Kali ini kita sama mengharapkan, dari dewa penolong kita, semoga ia berhasil dalam perannya. Apakah kalian sudah mengetahui siapa dewa penolong kita itu?
(Wiwik dan Tutut hampir bersamaan menggelengkan kepala)
Budi :Baik, inilah dia orangnya (sambil menunjuk Totok)
Wik+Tut : Totok?
Budi : Tepat! Okey, Tok, gantian engkau yang bicara!
Totok :Bicara apa Bud?
Budi :Terserah asal bicara. Asal ada kaitannya dengan apa yang kita bicarakan tadi.
Totok :Soal Tomy?
Budi : Apalagi kalau bukan?
Totok :Baik terima kasih! Wiwik dan Tutut kan sudah lama kenal dengan ku?
Tutut :Ya, siapa yang tidak kenal dengan Totok. Di sekolah kita itu, mereka semua kenal. Karena kenakalanmu, sampai engkau dikors berkali-kali.
Tutut : Aku masih ingat, setiap pagi harus pajak uang padamu Rp 1000,-
Totok : ( tertawa) Itu, kan dulu, sekarang lain lho Tik!
Tutut : Sekarang lima ribu?
Totok :Bukan begitu! Aku sekarang sadar. Tak mau lagi aku berkelai, kalau tidak terpaksa sekali.
Budi :Sudah! Sudah! Sekarang kita bicara yang sekarang! Bukan yang dahulu. Okey?
Tutut :( Memandang tajam pada Totok)
Wiwik : Sekarang kita mau bicara apa sih?
Budi : Membicarakan keadaan Tutut.
Tutut : Membicarakan aku?
Budi :Aku tahu keadaanmu, Tutut, aku sebetulnya menyesalkan tindakkan Tomy yang tidak bertanggung jawab itu.
Tutut :Aku akan dikawinkan dengan Totok?
Totok :Tidak! Aku tidak berani.
(Hening sejenak, mereka saling berpandangan)
Budi :Ayoo… kita mulai bicara lagi. Tapi ingat jangan tegang-tegangan.
Totok :Begini Tut, aku akan menolongmu. Aku pernah berhutang budi padamu. Aku merasa berdosa saat itu, meminta uang dengan paksa, sampai beberapa kali.
( Totok diam sejenak)
Totok : Pagi tadi Budi bercerita padaku tentang keadaanmu. Sebenarnya aku menyesalkan tindakkan Tomy itu. Kenapa dia melakuklan tindakan begitu kepadamu? Kupikir terlalu nekad. Nah, kuharap kau mengerti Tutut!
Tutut :Kau akan menolongku?
Totok :Ya!
Tutut :Dengan cara bagaimana kau akan menolongku?
Totok :Menyeret Tomy ke hadapan Tutut.
Tutut :Hah?! (Agak terkejut)
Totok :Tomy harus bersumpah dihadapan Tutut, bahwa dia harus bersedia mengawini Tutut dengan segera!
Tutut :Bisakah begitu?
Totok :Itulah Totok, yang dulu nakal dan bejad, kini akan memulai dengan kebaikan.
Tutut : Toook…!(menubruk Totok sambil menangis)
Wiwik :Sudahlah, Tut, kita tunggu saja. (kepada Totok) Kapan Tok, kau akan muai mencarinya?
Totok :Sekarang dia di rumahku, Okey, sebentar aku pergi menjemput Tomy!
(Totok pergi ke luar meninggalkan mereka)
Wiwik :Mas, Budi, dapatkah kau percaya ucapan Totok tadi?
Budi :Aku percaya sekarang! Dulu ketika sama-sama satu kelas banyak yang curiga kepadanya. Padahal ya dia memang betul-betul terdesak .
Tutut : Terdesak? Terdesak apanya?
Budi : Dia itu, orang tuanya miskin.Terdesak ekonominya.
Tutut : Sekarang kok bisa kaya? Pakai mobil? Pakaiannya necis?
Budi :Dia dulunya bekerja sebagai penjaga toko. Ketika toko itu kena rampok, dialah yang bisa menyelamatkannya.
Wiwik :Totok?
Tutut :Hingga tak terjadi lagi perampokan?
Budi : Ya, dialah yang menyelamatkan. Hingga akhirnya pemilik toko mengambil Totok sebagai menantu.
Tutut :Jadi dia sudah kawin?
Budi :Malah dia sudah punya anak!
Tutut :Aku akan minta maaf kepadanya nanti……… (ucapannya itu tidak jadi dilanjutkan karena tiba-tia pintu terbuka).
Totok : Tom, kau jangan mencoba lari dari kenyataan ini.
Tomy : Aku tidak diperkenankan oleh orang tuaku!
Totok :Itu bukan alasan yang kuat, untuk menolak!
Tomy :Kalau aku melepas orang tuaku, aku kan belum bekerja?
Totok : Lihat Budi, apakah dia sudah bekerja? Toh dia juga mengawini Wiwik.
(Pelan-pelan Tomy memandangi Tutut, pertama yang dilihat adalah perutnya yang tampak sedikit buncit. Lalu dengan pelan-pelan pula Tomy melangkah ke arah Tutut kemudian berjabat tangan)
Tomy :Tutut, aku berjanji dalam waktu dekat ini aku akan segera menikahimu.
Tutut :Terima kasih.
Totok :Tomy, kalau cuma janji kosong yang kau berikan pada Tutut, jangan harap kau bisa hidup tenang!
(Tomy tak berani memandang Totok yang memuncak kemarahannya)
Budi :Terima kasih usahamu Tok!
Totok : (mengangguk) Sama-sama!
(Layar ditutup perlahan-lahan)
Langganan:
Postingan (Atom)