Malam itu, aku menatap foto yang tersimpan di handphoon nokia-ku. Mengingatkan aku pada kenangan indah dari seseorang yang pernah menembus rasa hati. Senyumku mengembang, hingga air mataku mulai membasahi pipi, anganku kembali menyambut masa itu. Matanya yang sendu dan berkaca, dahulu mata itu selalu menatapku sembari mencuri –curi pandang hanya kepadaku seorang. Senyumnya menggoda, bibirnya yang pandai bicara, tingkah-lakunya nakal namun nasihatnya masuk akal. Tawanya yang renyah selalu terngiang-ngiang di telingaku. Pesan-pesan dengan ragkaian kata indah selalu mengalir dan terkirimkan di hp- ku setiap hari tiada henti. Semua itu, mengingatkan aku pada seseorang yang pernah kusinggahi sudut hatinya. Kisah cintaku itu berlangsung ketika berada di almamater tempatku mendulang ilmu.
Pagi itu, sesungguhnya angin berhembus sumilir bersih, sepantasnya jika membawa hati menjadi damai dan cerah. Namun suasana sejuk itu justru menjemput hidupku terasa gelisah, wajahku jadi merah padam, kemarahanku muncul menyembul. Mengapa ini bisa terjadi? Semenjak aku menerima berita hangat menyengat. Suara serak-serak basah itu muncul dari telepon Yulia. Suara seorang wanita Yulia yang masih terngiang di telingaku meminta agar aku memutuskan rasa cinta pada seorang pria pujaan hati.
”Ya, aku menyimpan cinta untuk orang yang sama, Mas Tono”. Suara hati nurani yang jujur itu seolah tak pernah bisa saya lupakan. Suara itu yang selalu terasa mengancam. Suara itu yang sering menjadikan jiwa ini tercekam.
”Nit... Nit...”. Suara Dini membuntutiku saat menuju koridor kafetaria kampusku.
”Kok murung lagi, ada kabar terbaru? Dia masih telepon kamu terus ?” Pertanyaan Dini memberondongku.
”Ya.. gitulah...” Jawabku singkat.
”Gitu gimana? Ayo... cerita dong...!” Rengek Dini menggodaku. Aku pun dengan langkah pasti memasuki ruang berukuran 4x4 meter persegi.
“Iya....tapi aku pesan minuman dulu, ya.. haus banget, nich...”
“Oke dech... Kita duduk di pojok, yuk, biar lebih santai...!! Kemarin aku tak jadi ketemu dengan Yulia, tapi sebagai gantinya dia udah ngomong banyak melalui telepon hingga sampai berjam-jam, ngga percuma ngabisin pulsa”.
“Dia cerita apa-an sich.. ?” tanya Dini kepadaku.
“Banyak banget Din, antara Mas Tomo dan Yulia, mereka sesungguhnya pacaran udah lama . Semenjak mereka duduk di bangku kelas dua SMA sampai sekarang hingga mereka kuliah. Bahkan kini mereka sudah punya rencana untuk tunangan. Namun, rencana itu gagal karena Mas Tono bukan dari keluarga baik-baik. Ya... karena Mas Tono dari keluarga single parents”.
Sembari aku membetulkan kursi rotan tempat dudukku, Dini pun sudah tidak sabar lagi mendengarkan kelanjutan ceritaku. Aku mulai menerocos cerita,
“Orang tua Mas Tono bercerai semenjak Mas Tono di kelas 3 SMP. Semenjak peristiwa itu Mas Tono tinggal bersama ibunya. Dia termasuk anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Sedangkan ibunya sendiri bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Ibunya hampir setiap hari meninggalkan rumah sejak matahari terbit, hingga matahari terbenam, bekerja mulai dari pagi sampai malam hari”.
Dini mendengarkan ceritaku seolah kedua matanya tidak berkedip.
”Mas Tono tumbuh dewasa tanpa perhatian orang tua. Memang dalam hal materi apa pun yang ia inginkan dapat terpenuhi. Tetapi dalam hal kasih sayang tidak pernah ia dapatkan”.
”Terus kamu tidak komentar apa-apa?”, sahut Dini memotong.
”Din, rasa-rasanya mulutku terbungkam, dia gomong terus seolah tak pernah merasa capek-capek, bahkan Yulia minta aku menjauhi Mas Tono. Yulia menuduhku telah merebut Mas Tono , Yaa... Yulia menuduhku telah merebut hati Mas Tono ”.
Dini seketika beranjak dari tempat duduknya karena mendengarkan bahwa aku yang seolah-olah dijadikan kambing hitam Yulia.
”Nita..., seharusnya kamu membela diri dong...!”
Dini menghela napas beberapa saat,
”Tetapi... kalau kamu meninggalkan Mas Tono apakah kamu bisa? Bukankah kamu sangat menyintainya?”
Begitulah pertanyaan retotik yang selalu keluar dari bibir mungil Dini. Aku merasakan tidak merebut Mas Tono dari Yulia. Aku merasakan tidak pernah menyakitkan Yulia. Sungguh sumpah, bahwa cara-cara percintaan yang konyol itu aku tidak akan melakukan. Lagi pula aku punya pendirian bahwa rasa cinta itu tidak dapat dipaksakan, rasa cinta itu datangnya dari Tuhan. Ya..., kalimat-kalimat itu memang aku kutip dari pesan SMS Mas Tono yang sering masuk ke ponselku. Lagi pula Yulia sendiri yang meninggalkan Mas Tono pada saat ia kesusahan. Waktu Mas Tono masih pecandu narkoba, seharusnya Vika bisa menerima dan mampu memberi terapi, atau sebagai penasehat pribadi.
Namun nyatanya Mas Tono malah dicampakkan! Itulah ang menjadikan permasalahan ini semakin rumit. Kalau memang benar-benar cinta, Yulia sebaiknya menerima Mas Tono apa adanya baik dalam keadaan duka maupun suka. Itu baru yang namanya cinta. Meskipun keluarga tidak merestui hubungan mereka, selayaknyalah mereka mempunyai cara. Bagiku untuk bermain cinta ada seribu cara! Tentunya, jangan sampai hilang akal, norma, tata susila. Dalam bermain cinta, aku punya prinsip selagi aku punya niat murni, berani, dilandasi cinta suci, maka Tuhan pasti memberkati.
Dini seolah tidak mau menerima kelakuan Yulia terhadap aku.
”Iya...sich...?! Apa yang kamu omongkan sesungguhnya masuk akal Din...”.
”Nit... seharusnya kamu tidak usah memikirkan Yulia, dia sudah menyakitkan hatimu dan hati Mas Tono. Yulia telah membuat Mas Tono nge-drug. Seharusnya Yulia itu berterima kasih kepadamu, Nit...”
”Terima kasih apaan, sich? Din..., aku kan tak pernah menolong Yulia aku tak pernah membuat Yulia bahagia. Justru aku sudah membuat Yulia sedih karena sekarang aku bersama Mas Tono”.
’Tapi kan, Nit... kamu itu udah membuat Mas Tono bisa keluar dari ketergantungan obat-obatan maksiat itu!” Tegas Dini memantapkan mat hatiku. ”Bahkan kamu sudah membuat Mas Tono kembali menjadi orang yang baik sehingga dia sekarang mau melanjutkan kuliahnya”.
Sambil sekali-sekali membenahi kaca minusnya Dini melanjutkan pembelaan. ”Sekarang Mas Tono sudah sembuh total dari drug yang hampir merenggut nyawanya. Semua itu karena kamu Nit.... Ya..karena kamu!” Dini mulai melanjutkanpembelaannya seolah seperti ahli hukum yang sedang beradu argumen di depan pengadilan. ” Nit..., bisa jadi karena kekuatan cinta yang kau tembuskan kepada Mas Tono seakan-akan bisa membuat segala sesuatu bisa terjadi. Ya... yang sesungguhnya tak mungkin terjadi bisa terjadi Nit..”, kata Dini terus memberi nasehat kepadaku. Bisa jadi untuk mengembalikan kepercayaan diriku yang beberapa hari ini aku merasakan frustasi. Sesaat kemudian Dini mencoba memunculkan jurus-jurus keselamatan bagiku.
”Begini ini saja. Nit... Bagaimana seandainya kalian nanti bertemu bertiga?, dengan cara ini saya pikir masalahnya bisa lebih jelas. Nanti kamu akan tahu Mas Tono itu sesungguhnya memilih kamu apa Yulia. Oke?!”, lanjut Dini,
”Iya... sich... mungkin hal itu bisa terjadi”. Aku sendiri heran juga, apalagi dari kaca mata umum, rasanya sulit dipercaya bahwa hanya berawal dari tatapan mata yang tidak sengaja aku bisa sampai jatuh cinta pada Mas Tono. Aku mengakui memang diriku masih muda-belia. Namun, entah mengapa aku sangat mencintainya. Jika ditanya mengapa aku jatuh cinta? Rasanya sangat susah jika harus kusampaikan dengan kata-kata.
Aku mengakui, Dini memahami isi hatiku. Aku memang terlalu jujur, semua masalah pribadi hapir aku ceritakan kepada Dini. Dini pun seolah merasa enjoi setiap mendengarkan cerita cintaku,
” Din... berkali-kali aku jauh cinta, rasanya belum pernah aku cocok banget seperti ini. Dari obsesinya, dari penampilannya, dari pembicaraannya, sifat-sifatnya, tingkah lakunya, kebiasaannya, keinginan ke depan. . . ah... bahkan aku menerima dia apa adanya walaupun dia seorang mantan pecandu narkoba”.
Dini hanya memberikan anggukan kepala menandakan bahwa Dini dapat membaca dan setuju maksudku.
Tidak terasa, ternyata sudah setegah jam aku dan Dini di kafetaria kampusku. Nampak Dosen pengampuku telah memasuki ruang kuliah. Dina menarik tanganku untuk segera meninggalkan tempat duduk di ujug kafetaria yang bercat biru . Cat tembok berwarna biru di kafetaria itu memberi obsesi kepada keteguhan dankemantapan jiwaku, bahwa cinta itu perlu dipelihara. Cinta itu tidak boleh untuk main-main belaka. Aku semangat, segera bangkit dari tempat dudukku.
”Iya, Din. Tapi aku bayar minum dulu... ya...??!
Sambil berjalan menuju ruang kuliah, aku dan Dini terus membicarakan Mas Tono dan dia minta aku berjanji menceritakan pembicaraanku dengan Yulia sampai selesai, setelah pulang nanti.
Dalam ruang kuliah aku tidak dapat konsentrasi sepenuh hati, aku masih terbayang jelas kata-kata Yulia lewat hp-ku kemarin. Tiba-tiba ’Tok...tok...tok...’ suara pintu diketuk seseorang , ternyata salah satu satpam di kampuskuku.
”Maaf mengganggu, apa ada Mbak Nita ?”, tanya satpam itu, sambil menatap seluruh isi ruang kuliah itu.
”Iya... Saya .... Ada apa, Pak ?’
”Dicari Bapaknya di ruang tamu”.
“ O...ya... makasih Pak...”
“Aduh, ada apa ya, Din ? Sepertinya tidak biasanya, ya ?”
”Udah. . . kamu ke sana dulu, ya ?!”, bisik Dini mempersilakan aku ke luar dari ruangan kuliahku”.
Dengan terburu-buru aku memasuki keheningan ruang tamu di Fakultasku. Di sana Papa telah menunggu.
”Oh... Papa, ada apa, Pa ? Kok tumben...?”
”Gini, Nit... papa tadi menerima khabar bahwa Mas Tono kecelakaan. Sekarang dia di rawat di rumah sakit”.
”Apa..??!” Aku shock banget, seluruh tubuhku gemetar, pikiranku ngga karuan.
”Kalau gitu. sekarang aku akan minta ijin dulu sama Dosenku Pa..!”, ucapku tergesa-gesa. Dini setia mengorbankan waktu ikut juga membolos kuliah keluar dari ruang kuliah untuk mengikuti aku. Tidak ada sepatah kata pun yang muncul dari mulut Dini. Yang biasa selalu bicara, kini tiba-tiba diam seribu bahasa.
Aku, Dini dan Papaku pergi ke rumah sakit dengan mobil Papa. Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku terus melamun dan memikirkan keadaan Mas Tono. Sementara itu, Dini terus saja menghiburku dan menyuruhku untuk tetap berdoa.
Sesampai di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Mas Tono, Ku coba tuk menenangkan diri melihat kenyataan yang ada. Aku hanya bisa diam. Wajah Mas Tono pucat, bisa jadi karena banyak keluar darah. Aku tatap wajah Mas Tono dalam-dalam, matanya terpejam, bibirnya bergerak, mengaduh pelan,
”Aduh... aduh... aduh... sakit...”, suara Mas Tono lirih.
Aku mulai mendekati, tangannya yang terkulai lemas kucoba kuraba. Tak mampu rasanya aku membuka kata untuk menyapa. Aku mulai meneteskan air mata. Kucoba menyapa, ”Mas..., Mas... Tono...!” sapaku lirih.
Perlahan-lahan mata Mas Tono terbuka. Mas Tono kaget melihat aku ada di depannya. Air mata Mas Tono mulai bercucuran, menangis,. Kuusap dengan sapu tanganku yang berwarna biru berulang-ulang. Aku dan Mas Tono saling memandang. Dengan replek tanganku setiap aku melihat tetes air mata yangkeuar dari ujung mata Mas Tono, sapu angan biruku mengusap berkali-kali tanpa kusadari
”Yang ... kamu mencintai Saya ?’, ucap Mas Tono lirih.
”Iya, Mas. Aku sangat mencintai Mas...”
”Benar...?? Aku sangat mencintai kamu. Kata Dini kemarin Yulia telepon kamu?”
Udahlah, Mas... jangan dipikirin, yang penting sekarang Mas Tono harus cepat sembuh...”
”Yang... kamu tidak akan meninggalkan aku, kan. Kamu akan tetap menerima keadaanku walaupun aku mantan pecandu ?’, kata Mas Tono.
”Iya...Mas. Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Aku sayang banget sama kamu”, ucapku tulus.
”Yang... tolong kamu suruh Yulia ke sini, Ya..?! Aku mau ngomong sama dia”, pinta Mas Tono.
Aku ambil ponsel yang ada di dalam tas mini yang menggantung di bahuku,
”Hallo... Yulia, ini Nita, aku minta kamu datang ke Rumah Sakit Umum DR. Mawardi! Di ruang Dahlia nomor 5, sekarang juga karena Mas Tono kecelakaan dan dia mau ngomong sama kamu”.
Di ruang tunggu semua teman Mas Tono sudah panik menyaksikan pertemuan antara aku dan Yulia. Suasananya menjadi tegang dan kaku. Tiba-tiba tampak seorang gadis berambut pendek menghampiriku. Sejenak kutatap dia dan kuulurkan tanganku.
”Yuk... Yul.., aku antar kamu ke Mas Tono”.
Dengan suara terbata-bata dan tanpa bosa-basi Mas Tono memberanikan diri untuk berterus terang,
” Yulia..., aku harap kamu merelakan saya bersama Nita. Maaf Yul... bukan maksudku untuk menyakitimu tapi aku sadar kalau Nita adalah orang yang benar-benar aku cintai dan aku sayangi. Dialah orang yang telah membuka hati Saya dan mengeluarkan aku dari ketergantungan narkoba”, ucap Mas Tono sambil membetulkan posisi tidurnya.
”Nita juga sudah membuat saya kembali kuliah dan bisa lebih menghargai dan menyayangi Ibuku. Aku tidak bisa berpikir, mengapa kamu mempermasalahkan hubungan kita setelah kamu meninggalkan Saya? Pada saat aku dahulu benar-benar membutuhkan kamu, ternyata kamu pergi dengan laki-laki lain”, lanjut Mas Tono sambil menatap Yulia.
”Aku mohon Yul..., jangan ganggu kebahagianku dan Nita”, kata Mas Tono kembali. ”Bahkan aku berencana setelah lulus kuliah dan aku sudah bekerja, aku akan melamar Nita sebagai istriku”.
Aku kaget akan kata-kata Mas Tono dan sekaligus bahagia mendengarnya. Aku hanya diam mendengar kata-kata Mas Tono.
Yulia menyadari dan menyesali apa yang pernah terjadi.
”Maafkan aku, Mas. Aku sadar kalau aku bukan wanita yang pantas untukmu”, ujar Yulia kepada Mas Tono. Sementara itu, Yulia pun memuji aku, meski secara jujur isi hatinya aku tak tahu. Air mata di pipi Yulia tampak mulai membasahi wajahnya sendiri. Dengan terbata-bata Yulia berkata,
”Nit... aku sangat berterima kasih ternyata kamu selama ini udah membuat Mas Tono bahagia dan kembali ke jalan yang benar. Aku percaya akan kekuatan cinta kalian. Meski berat, aku doakan semoga kalian benar-benar menikah. Kalau kalian menikah, jangan kau lupakan saya, ya...?!”, kata Yulia sambil kepadaku.
”Iya, Yulia. Aku juga berterima kasih atas pengertianmu. Jadi, sekarang kita bersahabat, kan..?”.
”Iya... sekarang kita bersahabat”, ujar Yulia.
Aku dan Yulia saling memandang, Mas Tono memandang kami berdua. Tida pasang mata berbaur menjadi satu dalam nuansa perjangan cinta.
Tiba-tiba saja Dini masuk ruangan dengan membentangkan kedua tangan seraya mengatakan,
”Kekuatan cinta ternyata bisa membuat kita keluar dari hal-hal yang tidak mungkin menjadi menjadi terjadi. Kekuatan cinta bisa membuat orang menyadari semua kekeliruannya. Bahkan dengan kekuatan cinta ternyata bisa membuat seseorang menjadi semangat bekerja dan awet muda.
Klaten, 9 Juli 2008