Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Dan apabila hal tersebut tercerabut dari akar kehidupan manusia, manusia tak lebih dari sekadar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Sayangnya, buat kita bangsa Indonesia, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa. Padahal, kita adalah bangsa yang berbudaya. Dalam dunia pendidikan sastra dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya hanya karena mereka “terpaksa” atau mungkin “dipaksa” menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.
Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, ujian, dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi kegenerasi. Sehingga, minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.
Fenomena semacam itu semakin parah melanda generasi muda di daerah-daerah, terutama daerah pedalaman. Walaupun begitu, tak bisa dipungkiri, itu juga melanda generasi muda di perkotaan.
Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang guru bahasa Indonesia sebuah sekolah favorit di Pamekasan, Madura, di sebuah warung kopi sebelah rumah. Iseng-iseng, penulis bertanya tentang perkembangan sastra siswa-siswinya. Dan jawabannya sungguh mengejutkan, “Yach, menurut saya, yang terpenting bagi mereka adalah mampu menjawab soal-soal UAN yang berkenaan dengan sastra. Sebab, malu rasanya jika nilai Bahasa Indonesia jeblok.” Sangat ironis jawaban seperti itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah pembicaraan saya dengan guru bahasa Indonesia itu, terjadi peristiwa yang mengejutkan di Pamekasan. Ada tawuran antarpelajar, atau tepatnya tawuran antarkelas, yang dilakukan oleh beberapa siswa dari sekolah terfavorit di Pamekasan. Namun, entah karena apa, peristiwa ini tidak diekspose oleh media massa, koran lokal sekalipun. Padahal, dalam tawuran itu dua orang siswa harus dirawat intensif di RSUD Pamekasan.
Tentu saja, terjadinya tawuran tersebut, kesalahan tak bisa dilimpahkan sepenuhnya pada siswa. Sekolah pun mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa tawuran antarpelajar sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode pendidikan. Dan salah satunya jelas karena kurangnya pengayaan terhadap sastra.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.
Tentu akan lain ceritanya jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswa-siswinya. Ambil contoh kecil, misalnya, pengembangan berpuisi. Selain keseimbangan olahjiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakikat dan nilai-nilai kemanusiaan. Jiwa kemanusiaan semakin tebal, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab, jarang sekali puisi dan kekerasan tampil dalam tubuh kalimat yang sama.
Terkait dengn itu, beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ternyata berpuisi—sebagai salah satu bagian dari sastra—selain mampu memanagemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernafasan (Hendrawan Nadesul, Kompas, 23/07/04).
Maka, tak bisa lagi kita mengelak dengan mengatakan bahwa sastra hanyalah permainan kata-kata. Kata-kata yang dibolak-balik, diakrobatkan, diliuk-liukan diudara imajinasi agar terkesan ngeh, indah, dan bersahaja bagi siapa saja yang membacanya. Sebab, ternyata dari hasil penelitian di atas, sastra mampu menduduki posisi sebagai terapi alternatif terhadap beberapa penyakit.
Sehingga, menjadi wajar bahwa penulis di sini sangat menekankan untuk sekolah-sekolah terus-menerus memberikan waktu yang lebih banyak pada siswanya untuk melatih imajinasi melalui karya-karya sastra baik itu puisi, cerpen, teater, maupun drama. Sebab, selain untuk memupuk minat terhadap sastra dan mengembangkan imajinasinya sebagai penunjang pengetahuan yang lainnya, diharapkan juga nantinya mampu melahirkan para budayawan dan sastrawan terkenal sebagai pengganti “pendekar” sastra pilih tanding yang tidak produktif lagi karena usia dan satu per satu telah meninggalkan kita. Sebut saja Hamid Jabbar, Muchtar Lubis, dan Pramudya Ananta Toer.
Caranya adalah sekolah harus membuka lowongan pekerjaan untuk seniman-seniman profesional yang cenderung urakan di mata masyarkat untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengganti dari guru bahasa Indonesia lulusan universitas yang selalu terikat dengan kurikulum sehingga kebanyakan dari mereka tak mampu mengembangkan minat sastra pada siswa-siswinya. Bisa juga dengan memberikan waktu khusus untuk para seniman, sastrawan muda berbakat untuk memberikan pelajaran sastra.
Nah, kalau tidak segera digagas mulai sekarang, kapan lagi kita akan mampu melestarikan kesusastraan kita yang besar dan unik itu, serta siapa yang akan menggantikan generasi tua?
Ditulis oleh hafidzi di/pada 14 September 2006